Selasa, 25 Oktober 2011

Cermin

Shierly Nangoy
Dari Bisnis Kecantikan Beralih Menjadi Petani


Sebagai General Manager perusahaan produk kecantikan khusus rambut, ia selalu tampil charming. Namun itu semua ia tinggalkan, dan memilih menjadi petani buah naga dan kebun jati.
Berani meninggalkan karier yang tergolong sudah mapan, tentulah karena ada sesuatu yang lebih menantang. Demikianlah Shierly Nangoy. Berawal dari 12 tahun lalu, dengan hanya 14 karyawan hingga mencapai 1600 karyawan saat dia tinggalkan, cukup membuat brand produk kecantikan Makarizo menancap di hati konsumennya.
Dengan memegang prinsip hidup hanya sekali, maka harus mengalami banyak hal agar kehidupan itu menjadi lebih kaya dan berarti, Shierly setahun ini sukses membangun kerajaan bisnisnya yang baru. Kali ini dia memilih berdekatan dengan para petani atau pekerja kebun jati dan buah naga, miliknya.
“Mungkin karena saya sudah terbiasa dengan perubahan. Jadi sebenarnya kalau kita memulai sesuatu dari nol kemudian menjadi besar, ketika kembali ke nol lagi, itu sangat menyenangkan. Makarizo kan sudah setel, jadi tinggal dilanjutkan saja. Tantangannya juga sudah berubah, bisa dikatakan monoton. Tapi dengan tim baru, sesuatu yang baru menjadi kegembiraan yang baru lagi bagi saya. Adrenalinnya juga sangat berbeda,” ungkap Shierly.

Opportunity dan Passion
Wanita kelahiran Manado, 14 Agustus 1970 ini suka dengan opportunity dan passion untuk mempelajari hal-hal baru. Di atas lahan seluas 40 hektar, Shierly menjalankan bisnisnya di dua lokasi, yakni di Gunung Putri, Bogor dan Manado.
”Tanah tidak semua milik saya, melainkan juga ada beberapa dari teman bisnis yang menitipkan tanah untuk dikelola,” ujar Shierly.
Alumnus fakultas Ekonomi Universita Padjadjaran Bandung ini, menggandeng para ahli pertanian dari Institut Pertanian Bogor dalam mengembangkan bisnis perkebunannya ini. Lewat mereka, dikembangkanlah satu varietas dimana pertumbuhan kromosom yang semula menghasilkan kelipatan dua, kini menghasilkan kelipatan empat.
Dari penemuan ilmiah yang menakjubkan tersebut, memberi pengaruh besar pada hasil panen di perkebunan Shierly. Sebagai contoh, proses panen pohon jati dipetik dalam waktu lebih singkat dengan kualitas kayu yang baik. Dengan penemuan teknologi ini, tanaman jati dapat dipanen dalam waktu 5-6 tahun. Biasanya jati baru bisa dipanen sekitar 8-10 tahun.
“Di sini, ada ilmu pengetahuan yang sangat menantang untuk kita kembangkan. Contohnya pohon jati agar cepat dipetik hasilnya maka perlu mengandalkan teknologi pertanian. Yaitu teknologi kultur jaringan dan pemupukan yang tepat,” ujar Shierly.
Lebih lanjut Shierly menjelaskan untuk pemupukannya menggunakan mikro organism (pupuk organik) untuk hasil panen yang cepat dan banyak. Digunakan juga sejenis jamur di akarnya untuk meningkatkan kemampuan akar ini menyerap unsur hara dari tanah. Antara jamur dan jati terjadi simbiosis, mereka saling bertukar makanan. Jamur tidak punya daun, sehingga tidak bisa fotosintesis. Jadi dia mengambil makanan daun jati. Daun jati itu mengirim makanan untuk si jamur hasil fotosintesis nya yaitu glukosa. Kemudian jamur ini, memberikan zat-zat kayak unsur hara tanah untuk jati. Jadi pohon jatinya cepat besar. Begitu pula dengan buah naga, juga dikembangkan dengan teknologi pertanian.
“Negeri kita ini negara agraris. Kalau kita bisa mengelola dengan baik, resources itu ketersediaannya berlimpah. Cuma masalahnya, orang desa pengen ke kota. Mereka meninggalkan resources yang berlimpah ruah. Sayang banget kan,”ucapnya.

Ajak Anak Cinta Bumi
Di luar perkebunan, bekerja sama dengan sejumlah komikus, Shierly juga sedang mempersiapkan kelahiran sebuah komik remaja, Kindaimaru yang diharap menginspirasi anak-anak bisa cinta terhadap alam.
”Yuk back to nature. Sekaligus mengenalkan bisnis agriculture sebagai bisnis menguntungkan pada anak-anak Indonesia.Saya sempat bercanda dengan komikusnya. Kalau anak Indonesia sadar, dengan memanfaatkan teknologi dan resources yang tersedia, Indonesia tuh bisa jadi lumbung untuk makanan seluruh dunia,”ujar Shierly.
Komik ini bercerita tentang 5 tokoh anak-anak pejuang bumi, Rocky, Baksi, Ayuri, Keke dan Agung yang berpetualang demi menyelamatkan bumi yang sudah mulai rusak agar hijau kembali. Komik ini bagian dari CSR Kindaimaru sebagai mahluk yang selalu ingin berbagi. Sesuai pula dengan prinsin keseimbangan yang diterapkan Shierly dalam menjalani hidup “Apapun yang dijalani harus membuat kita selaras dengan lingkungan. Sehingga apa yang kita dapatkan tidak mengejar materi saja. Tapi juga mendapat kebahagiaan. Dan kalau bisa juga membawa kebahagiaan buat orang lain,” katanya, bijak.

Boks
Banyak Belajar dari Buku

Tidak seperti anak-anak lain yang sejak kecil sudah punya cita-cita, berbeda dengan Shierly, dia hanya ingin secepatnya lulus sekolah dan kemudian berkreativitas sebanyak-banyaknya. Kebetulan orang tua juga tak pernah menuntut ini dan itu. Mereka hanya berpesan agar apapun yang dilakukan Shierly haruslah memberikan hasil yang terbaik.
Semuanya turut berpengaruh pada pola didik di masa kecil. Ayahnya Louis Nangoy, seorang pengacara dan politisi dan ibunda Margaretta Sondakh, memberikan kebebasan pada anak-anaknya. Lahir dan besar di kota dengan taman laut terindah (Bunaken), masa SMA dilalui Shierly di Jakarta. Lulus SMA, Shierly meneruskan kuliah di Universitas Padjajaran, Bandung.
“Kalau orang tua mengijinkan, saya seperti diberi kepercayaan. Saya bersyukur semua itu saya lewati dengan lancar,” ujar wanita yang hobi membaca ini.
Melalui buku-buku yang dibacanya, Shierly seperti mendapat banyak inspirasi hidup. Shierly senang membaca buku tentang ilmu marketing, pengalaman orang dalam mengembang brand, dan buku inspiratif lainnya. Dengan buku, Shierly mengambil inti sari dari sebuah pemikiran si penulis yang sudah lebih dulu melewati suatu peristiwa.

Kembar Tiga Jelmaan Sang Ibu
Pada ke-3 buah hatinya, kembar tiga; Nicole, Stevani dan Alexander yang lahir pada tahun 2003 lalu dengan selisih waktu 1 menit saja, dengan sang suami, Hariyanto Prasetia, Shierly sepakat membesarkan mereka dengan pola didik memakai pendekatan seni.
“Untuk pendidikan kami melengkapinya dengan art dan kegiatan-kegiatan yang membuat mereka lebih terasah. Dalam memilih sekolah, tidak hanya mengejar akademik. Karena banyak sekolah sekarang hanya menekankan menguasai akademik. Padahal akademik hanya menciptakan generasi pekerja dan tidak akan berani berbisnis dan tidak punya daya kreativitas yang cukup untuk berbisnis sendiri,” urai Shierly.
Bercerita tentang ketiga anak-anaknya, Shierly mengutip ucapan salah seorang kepercayaanya yang mengatakan mereka adalah sosok dirinya yang terpecahkan menjadi tiga anak manusia.
“Baru kelas 2 SD. Nicole itu anaknya berani banget dan orang cepat akrab. Dia juga punya auditory. Dia suka baca buku dan dari kecil senang diceritakan. Kalau sekarang ini menceritakan sesuatu, benar-benar rinci, jelas.
Dia punya proyek mau bikin majalah, namanya Shampoo. Dia sudah merinci apa saja isinya dari setiap edisi ke edisi berikutnya. Stevani, dia analis, observer banget. Senang juga baca buku, tapi nggak gampang akrab dengan orang. Kalau Alexander, anaknya tidak pernah lowbet. Kreatif banget. Suka main mobil remote control. Anaknya imajinatif banget. Katanya mau bikin hotel. Mungkin selama hamil saya selalu ajak meeting, jadi anaknya begitu. Hahahahaha,” tutup Shierly.

Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1134. Foto: Yogi

Senin, 24 Oktober 2011

Cermin



Jurry Sonata
Padukan Fashion dan Kesehatan


Menjalankan bisnis dengan passion adalah sebuah anugerah bagi semua orang. Biasanya hasil yang didapat juga tak pernah melenceng dari yang ditargetkan, bahkan keberhasilan kerap melampaui dari yang diharapkan.

Wanita selalu ingin terlihat cantik, sehat dan menarik. Begitu pula yang selalu tertanam dalam diri Jurryi Sonata. Wanita kelahiran 9 Februari 1976 ini berasumsi secara fisik, cantik terpancar dari kulit yang sehat, tidak kusam. Meski kadang terjadi, setelah berumah tangga wanita cenderung tak acuh dengan segala yang pernah menjadi prioritasnya saat masih lajang. Salah satunya seringkali lupa untuk merawat diri sendiri.
Berawal dari itu semua, Jurry yang hobi memanjakan diri dengan perawatan kecantikan, terinpirasi untuk menciptakan aneka produk beauty care. Langkah pertamanya, menciptakan body lotion berlabel Gwendolyn bekerja sama dengan adiknya, Lidya Elena mulai tahun 2008.
”Nama ini diambil dari nama anak kedua saya yang berasal dari nama ratu Inggris abad 17,”ujar Jurry.

Terinspirasi dari Hobi
Pilihan pertamanya jatuh pada body lotion, karena ibu dua anak; Orlando, 6 dan Gwendolyn, 3 ini senang mengoleksinya. Setiap kali jalan-jalan ke mal di luar negeri, Jurry menyempatkan diri untuk mencari produk body lotion terbaru. Karena mengetahui kegemarannya, Jurry pun kerap mendapat oleh-oleh body lotion dari orang-orang terdekatnya. Uniknya, meski suka mengoleksi belum tentu semua produk tersebut cocok dengan kulitnya.
“Biasanya kalau nggak cocok, ya saya simpan saja sebagai barang koleksi karena suka aroma atau model botolnya,” ujar Jurry.
Koleksi lotionnya menumpuk, Jurry pun terinspirasi untuk membuat produk sejenis.
“Umbrellanya adalah beauty care, kebutuhan sehari-hari kaum perempuan. Mulai dari lotion, sabun, shower cream, lipt balm dlan lainnya yang benar-benar efektif untuk merawat kecantikan. Bukan sekadar wanginya disukai tapi juga ketika digunakan tidak memberi efek samping, tidak lengket di kulit. Hal yang sering menjadi keluhan kebanyakan ibu-ibu sehingga meninggalkan perawatan ini,” ujar Jurry.
Alumnus STIE IBIE, Jakarta ini menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan untuk produk yang diciptakannya sebelum melemparkannya ke pasaran.

Sang Guru Besar
Orang yang paling berpengaruh dalam karier Yuri adalah suaminya sendiri, Thianchay Monthaniyachat. Karena pria inilah, dia optimis mendirikan PT Gwendolyn Indonesia.
“Suamiku mengatakan, ’kalau tidak sekarang, kapan lagi kamu akan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Pengalaman yang didapat juga akan lebih besar. Tapi tetap harus berhati-hati karena kalau jatuh, rasanya juga lebih sakit. Namun terlepas dari itu semua, kamu akan lebih banyak mendapat appriciate. Suamiku adalah guru besarku dalam menjalankan bisnis,” Jurry menirukan kata-kata suaminya.
Ketika berniat memulai bisnis ini, dalam waktu bersamaan adik perempuan satu-satunya, kembali dari Australia setelahmendalami ilmu design communication. Tak ingin pusing-pusing menghire orang lain, Jurry berpikir lebih baik memanfaatkan keahlian yang dimiliki adiknya.
“Terus terang kalau nggak ada Lidya, mungkin nggak bakal jadi. Kalau main ide-ide saja, tapi nggak ada yang bisa menuangkan ke dalam bentuk gambar, kan repot juga. Adikku ini kuat banget desain grafisnya. Pulang ke Jakarta, Lidya pernah kerja juga dengan ekspatriat. Sampai dia pikir, capek ya kerja buat orang, mengonsep produk orang terus,”cerita Jurry.
Bak gayung bersambut, keduanya pun sepakat membangun bisnis keluarga. Maka mulai mereka merancang product beauty care yang beda dari yang sudah ada.
”Karena kalau sama, mending nggak usah. Apalagi marketnya sudah penuh begini,” ungkap penyuka segala jenis genre film ini.
Gwendolyn merupakan perpaduan antara fashion dan kesehatan dengan ragam aroma yang disukai segala usia. Ternyata menyatukan kedua konsep ini tidak mudah, dan menjadi tantangan tersendiri.
“Biasanya, yang beredar di pasaran ada yang benar-benar clinical, istilahnya powdery banget. Fenomena ini yang membuat kita ciptakan body lotion dengan aroma-aroma yang disukai konsumen seperti aroma mangga, bubble gummer, cucumber, dll,” ujarnya.
Keduanya berbagi tugas. Jurry bertanggung jawab pada pemasaran
”Lidya pure di desain. Contoh desain botol seperti apa? Jadi kalau dicari di tempat lain, nggak ada. Dan ini sudah kita patenkan. Selain kualitas juga ok, bagaimana the first time, orang bisa approach barang kita. Kalau dari dekat aja nggak menarik, apa lagi kalau jauh. Idenya benar-benar harus cari yang unik. Jaman sekarang kalau nggak unik, pasti nggak tembus ke pasaran. Satu-satu dipikirkan, mulai dari tutup botol hingga stiker kita cari sendiri,” lanjut Jurry.
Sangat menikmati pekerjaan yang sekarang ia tekuni.
“Peduli kecantikan, sudah menjadi keharusan. Saat usia terus berjalan, menuntut kita untuk semakin merawat diri. Untuk anak-anak juga penting. Karena mereka tidur pakai AC, di sekolah dan tempat kerja pun pakai AC. Lalu olahraga panas-panasan di luar. Udara kita makin lama makin buruk. Tidak ada ceritanya nggak pakai lotion kalau nggak ingin kulit kering,” ujar Jurry, meyakinkan.
----


Boks
Berbisnis Sejak Kuliah



Jiwa bisnis Jurry sudah terasah sejak masih kuliah. Dari dulu Jurry senang berjualan baju, dompet dan perna -pernik perempuan muda seusianya. Memanfaatkan uang jajan yang diberikan orang tuanya dan berkolaborasi dengan salah seorang tantenya yang menjadi distributor pakaian bermerk, sempat dilakukan Jurry dengan serius.
”Iseng-iseng berbisnis, sekaligus ingin mengukur seberapa besar kemampuan saya. Apalagi anak-anak kuliah jaman dulu kan nggak kayak jaman sekarang. Uang jajanku nggak sebesar anak kuliah jaman sekarang. Lalu aku lihat peluang, tiap hari teman ada saja yang ulang tahun. Tiap sebentar beliin kado dan segala macam. Dari situ aku terpikir berjualan pernak pernik kado. Barang yang kecil-kecil yang terjangkau dengan dompet anak kuliahan. Yang penting nggak terlalu menganggu kuliah,” cerita Jurry.
Melalui bisnis kecil-kecilan, secara tak langsung Jurry juga tumbuh sebagai pribadi yang mandiri. Terlebih kedua orang tuanya juga tak pernah memanjakan kedua putrinya dengan limpahan fasilitas yang berlebihan. Hingga lulus kuliah tahun1998, Jurry sempat bekerja pada bagian eksport di perusahaan glass wear.
“Lumayan 4 tahun. Saya cukup menimba ilmu dari sana. Bagaimana kontak dengan customer, mengatur skedul dan lainnya. Begitu menikah, saya pilih istirahat, mengurus anak. Setelah anak bisa ditinggal, suami mengijinkan saya untuk berkarier lagi. Karena sudah terbiasa menikmati hari-hari tanpa tekanan, saya nggak kepengen lagi kerja nine to five. Lalu saya coba-coba bikin sesuatu. Kalau bisnis sendiri, untung rugi di tangan kita. Passion kita juga dapat dieksplor lebih maksimal,” kata Jurry.


Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1134. Foto: Istimewa

Jumat, 14 Oktober 2011

Cermin



Miranti Hadisusilo
Dari Otomotif Beralih ke Dunia Fashion




Belasan tahun berkecimpung di bidang bisnis otomotif yang identik dengan dunia laki-laki, sejak setahun ini Miranti Hadisusilo beralih berkarier pada bidang yang diminati kaum wanita, produk fashion.


“Ternyata bisnis ini sangat complicated. Program-programnya lebih detail. Untuk itu saya harus tahu betul, seperti apa sistem yang berjalan. Tidak seperti dulu berjualan mobil. Satu mobil, harganya sekian ratus juta. Kalau ini, produk yang dijual harganya beragam. Ada yang Rp. 50 ribu atau Rp. 100 ribu. Jadi memang bisnis yang berbeda. Lebih menarik karena banyak yang harus saya pelajari lagi. Bisnis terus berkembang, saya harus terus belajar. Saya bersyukur, banyak dibantu oleh teman-teman," ujar Miranti.
Dinamika di perusahaan retail PT Matahari Departemen Store tbk, dimana ia dipercaya memangku jabatan Corporate Secretary dan Direktur Corporate Communication & Legal, sungguh menantang bagi Miranti

Target Up To Date, Modern & Lux
Ya, sejak setahun lalu, Miranti memberi warna baru di perusahaan retail PT Matahari Departemen Store.
"Saya sudah sekitar 15 tahun di bisnis otomotif, tepatnya sejak tahun 1995. Karena setiap waktu seseorang itu dituntut untuk berkembang terus. Maka saya ingin mencoba sesuatu yang baru. Meski bidang yang saya tanggani masih seputar corporate secretary, corporate communication & legal juga. Tapi cara pendekatan di bisnis retail itu ternyata berbeda. Itulah yang menarik dan menantang saya,"Miranti, mengurai awal bekerja di perusahaaan retail yang sudah punya nama di kalangan masyarakat menengah ini.
Berada di lingkungan bisnis yang baru, Miranti tak segan untuk terus belajar. Wanita kelahiran 3 Juni ini mengakui bahwa bisnis retail tidak semudah yang ada dalam benaknya.
Miranti menargetkan Matahari Dept Store menjadi pilihan wanita Indonesia dalam berbelanja. Oleh sebab itu, bersama divisi yang dipimpinnya, berupaya menjawab keinginan pasar. Untuk itu Matahari Dept Store setiap saat melakukan berbagai perbaikan, menambah gerai di sejumlah daerah. Tujuannya tentu saja, agar produk Matahari semakin dekat dengan costumer.
"Setiap waktu selalu lahir pesaing baru. Kalau produk yang dijual itu-itu saja, tentu orang akan bosan. Makanya kita harus mengembangkan produk-produk yang kita jual. Tokonya juga selalu direnovasi. Supaya semakin up to date, modern, lux agar menarik customer," kata Miranti.

Segmen yang Selalu Berbeda
Matahari pertama kali berdiri tahun 1958, oleh foundernya Hari Darmawan. Boleh dibilang Matahari menjadi salah satu pioner departemen store di Indonesia. Dalam perjalanannya, tahun 90 an, Matahari pernah dibeli Lippo grup. Tahun 2010 lalu diakuisisi oleh grup CVC, sebuah perusahaan global equity yang berkantor di Singapura.
”Matahari departemen store pernah pula menjadi divisi dari Matahari Putra Prima yang juga membawahi Hipermart, Timezone, toko buku Times, Foodmart dll. Tapi begitu dibeli oleh grup CVC, pada 2009 Matahari Dept Store di spin off menjadi Matahari deptstore tbk,”ujar Miranti.
Hingga kini Matahari Dept Store telah mencapai 96 gerai, di 40 kota besar di Indonesia. Mulai dari Batam, Bengkulu, Makassar hingga Ambon. Mayoritas memang ada di wilayah Jabodetabek. Salah satu keunikannya, setiap gerai berbeda-beda, mengikuti masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudnya menyesuaikan segmen marketnya.
”Misal, di Bekasi, segmen marketnya lebih menengah ke bawah. Sementara di kawasan cilandak town square lebih menengah atas. Produk-produk yang dihadirkan disesuaikan dengan kantong costumer. Kalau di kawasan menengah atas diberi produk murah. Malah orang nggak mau. Kalau di daerah tidak perlu terlalu trendy. Kalau di Jakarta, harus up to date dan mengikuti trendy. Kami berusaha menciptakan suasana belanja seperti apa yang diinginkan costumer. Stoknya harus lengkap,” ungkapnya.

Batik Pengobat Stres
Membaca, menonton film dan shopping, dijadikan Miranti sebagai salah obat dikala sedang diserang rasa stres.
"Untuk buku, saya pembaca segala buku, kecuali buku horor. Begitu pula dengan nonton, semua saya suka, asal bukan film horor. Kalau hobi shopping, mungkin karena perempuan memang ditakdirkan senang berbelanja kali ya," kata Miranti, seraya tertawa lepas.
Ada satu lagi hobi Miranti yang sudah ia lakukan sejak 3 tahun ini, mengoleksi aneka properti terbuat dari kain batik. Mulai dari tas, scraf, gelang, selendang, baju hingga kain batik. Saat ini koleksi batiknya sudah terbilang banyak dan tersimpan dalam 1 lemari 3 pintu.
"Untuk jumlah tas batik saya saja sudah puluhan .Suami saya sampai protes. Hahahaha. Sampai-sampai di kantor saya sudah terkenal ibu yang pakai batik. Mereka panggil saya 'Miss batik'. Karena kalau pakai baju, pasti selalu ada sentuhan batiknya. Sekalipun itu hanya berupa scraf batik, gelang batik, tas batik," kata Miranti.
Miranti rajin berburu batik ke berbagai pelosok Tanah air. Saking cintanya dengan batik, kini batik juga salah satu terapi stres untuk dirinya.
"Batik menjadi hiburan bagi saya. Saya lihat satu per satu koleksi batik saya. Saya pikirkan seperti apa pengerjaannya, berapa lama dibuatnya, sampai ke bentuknya saya perhatikan. Oh ini bentuknya gajah, kok bisa ya. Terus saya buka lagi yang lain, dipandangi lagi. Orang rumah sudah hafal sekali. Kalau saya sudah bongkar lemari batik, pasti lagi stres," ujarnya.
-------

Boks
Fokus Keluarga Ketika di Rumah


Ibunda dari 1 putri dan 3 putra ini mengaku memegang prinsip bahwa setiap pekerjaan harus dijalani dengan penuh rasa cinta.
"Karena kalau nggak enjoy, bawaannya stres duluan. Yang namanya pekerjaan pasti banyak, maka harus ditekuni dengan enjoy. Dulu di otomotif saya berhadapan dengan customer-customer yang pada umumnya pria. Cara menghadapinya berbeda. Berjualan mobil dari sepeda motor sampai mobil mewah: mercy dan BMW. Segmen marketnya juga beda. Di Matahari pun saya belajar banyak bagaimana berhadapan dengan customer. Intinya akan lebih banyak sukanya, kalau kita mau terus belajar," ungkap Miranti.
Miranti menyebut, salah satu risiko wanita bekerja, adalah ketika diprotes anak-anaknya. Namun, setelah mereka beranjak besar dan Miranti berusaha menjelaskan bahwa ibunya bekerja untuk keluarga, sehinga anak-anak pun mendukung. Sebagai bentuk tanggung jawabnya, Miranti selalu sempatkan waktu, menelpon atau bbm anak-anaknya, hanya sekadar untuk menanyakan, sudah makan atau belum. Dalam sehari minimal 2-3 kontak sebelum pulang kantor. Miranti bersyukur suaminya, Ridwan sepenuhnya mendukung pekerjaannya.
"Suami saya sangat mengerti pekerjaan saya. Meskipun kadang-kadang, namanya pekerjaan tidak selalu selesai di kantor. Saya harus bawa ke rumah. Itu kadang-kadang dikomplain suami. Saya anggap wajar hal itu. Karena suami juga seperti itu kadang karena tuntutan dedlen harus bawa pekerjaan ke rumah. Karena itu kami saling mengingatkan saja. Kalau memang sudah di rumah maunya fokus untuk keluarga,”tandas Miranti.
Miranti dan suami menerapkan pola asuh bahwa pendidikan merupakan hal terpenting untuk anak-anaknya. Kalau bisa memberikan pendidikan yang terbaik untuk mereka, kenapa tidak. Salah satu perwujudannya, anak-anaknya mendapat pendidikan yang cukup di sebuah sekolah berwawasan internasional.
"Alhamdulillah anak-anak saya sekolahnya di Madaniah, miliknya Cak Nur. Mereka sudah fasih berbahasa Inggris," kata Miranti, tentang anak-anaknya.
Miranti juga menerapkan kemandirian, dengan membiasakan anak-anak packing koper sendiri sebelum melakukan perjalanan jauh. Pergi ke mal, pesan makanan sendiri. Anak-anak diberi sejumlah uang. Lalu mereka membelanjakan sendiri. Setelah itu, Miranti menerima laporan apa yang mereka beli.
"Saya memang sengaja menanamkan ini, agar mereka tidak terlalu manja sama orang tua. Selain kemandirian, kami tanamkan keberanian. Alhamdulillah karena sering melihat ibu dan bapaknya bicara di depan podium, mereka juga berani. Bahkan mereka tak malu diminta jadi MC," lanjut Miranti.
Meski mampu memberikan fasilitas yang wah, Miranti sepakat dengan suami untuk tidak langsung memenuhi setiap yang diinginkan anak-anaknya. Miranti menyebut salah satu contoh, ketika putra bungsunya, Bryan minta dibelikan Ipad, iia menanyakan, untuk apa. Sebab anak yang paling besar pun, tidak mereka fasilitasi Ipad pribadi, tapi Ipad bersama yang tersedia di rumah, untuk dipakai jika memang sangat diperlukan.

Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1134. Foto: Muchamad Nur Ridho

Cermin

Retno Martuti
Juragan Batik Yang Menjelma Jadi Srikandi Saham





Berinvestasi lewat saham belum terlalu populer di Indonesia. Padahal sebagian orang justru menemukan kesenangan dan mengelutinya penuh rasa cinta. Seperti Retno Martuti, yang menemukan dunianya di dunia satu ini.


Meski setiap saat harus senam jantung karena menunggu perkembangan harga saham dari detik ke detik hingga tutup market.
Retno Martuti, vice president equity (saham) AAA Securities menyebut disitu letak menariknya berkecimpung di dunia saham.
“Justru orang-orang bekerja di saham asyiknya di situ. Deg-degannya benar-benar membuat hidup lebih hidup dan berwarna,” kata Retno.
Dunia pasar modal memang cukup menarik perhatiannya. Karena setiap hari selalu ada sesuatu yang baru. Menghadapi orang dan pasar merupakan sesuatu yang dinamis dan baru. Sehingga, dijamin tidak akan bosan bekerja di bidang ini. Retno sedikit menggambarkan pekerjaannya.
Pialang atau broker saham, itulah istilah untuk mereka yang bekerja di dunia pasar modal.
Retno telah menekuninya sejak tahun 1994 dengan memulai karier dari bagian terbawah, sebagai settlement. Kala itu pengelolaan saham masih menyatu dengan dunia perbankan.
Berkat keseriusannya bekerja, sampailah ia di posisi penting seperti sekarang ini, vice presiden (wakil direktur).
“Waktu itu saya kerja sambil kuliah. Pertama kali ditaruh di bagian operator telepon. Tapi tak lama kemudian, saya disuruh mengisi kekosongan di bagian settlement, tugasku ya ngecap-ngecap saham. Jaman dulu orang jualan saham tuh sampai teriak-teriak, kalau sekarang kan nggak. Terus, dulu orang yang kerja di dunia saham masih sedikit sekali. Jadi tiap orang bisa mengerjakan dobel-dobel. Tapi justru di situ aku banyak tahu seluk beluk dunia saham,” kata wanita kelahiran, Surakarta, 25 Agustus 1971.
Kemudian, ketika bergabung dengan AAA Securities 6 tahun lalu, Retno memulainya sebagai assisten vice president. Tak lama berselang, mendapat promosi dari perusahaan untuk menduduki kursi seorang vice president.
Menurut Retno, semua yang diraihnya ini merupakan proses panjang dari sebuah ketekunan pada pekerjaan.
“Kuncinya fokus terhadap pekerjaan kita, kemudian yakin bahwa apa yang dikerjakan serius akan memperoleh hasil. Yang pasti, tidak ada yang seperti sulap. Semua butuh waktu dan kesabaran,” urai Retno yang dulu pernah berjualan batik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Jakarta.
“Karena waktu itu saya jauh dari orang tua ya. Kalau mengandalkan gaji, sepertinya tidak menutupi kebutuhan hidup di Jakarta. Akhirnya untuk tambah-tambah pemasukan, saya jualan batik ke teman-teman kantor. Lumayan untuk bayar sewa kost tiap bulan dan kuliah. Makanya teman-teman sampai menjuluki saya juragan batik. Hehehe,” lanjut penyuka warna pastel ini.

Menjalani karier dari bawah, Retno terus membekali dirinya. Dia bertekad untuk sukses berkarier di pasar modal.
Namun menjadi pialang saham tidaklah gampang. Retno harus memiliki standar kecakapan yang dikeluarkan oleh Bapepam. Saat ini Retno mengantongi 2 surat ijin WPPE (wakil perantara pedagang efek) dan WMP (wakil manajer investasi). Kedua ijin ini merupakan syarat mutlak yang harus dia kantongi untuk berkiprah sebagai pialang saham.

Ingin Tumbuhkan Cinta Saham
Rupanya menjadi seorang pialang adalah cita-cita di masa kecil ibunda Viera Rosana Samedy, 9 ini.
Berbekal tontonan fragmen (sinetron jaman dulu-red), suatu ketika dia menyaksikan tokoh dalam cerita fragmen tersebut berprofesi sebagai pialang saham.
“Mungkin karena terbius oleh tayangan sinetron di televisi yang menampilkan kisah orang kaya karena menang saham. Tapi karena masih kecil saya nggak tahu apa yang namanya pialang saham atau broker itu. Yang saya ingat ada tokoh yang menang saham langsung kaya raya. Sinetron itu membekas dalam pikiran saya sampai besar. Saya ingin menjadi petugas yang teriak jual, jual, beli, beli. Baru setelah kerja di bagian settlement, baru saya tahu bahwa tokoh di sinetron jaman dulu itu, menginvestasikan uangnya ke saham,” lanjut Retno, senang.
Bicara soal dunia saham sekarang ini, Retno menuturkan bahwa di antara negara asia, Indonesia termasuk yang tertinggal untuk bisnis saham. Sehingga selama ini bidang ini masih dinikmati oleh pihak asing.
Sehingga Retno bercita-cita ke depan bisnis saham menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukannya dengan memperkenalkan investasi di bidang saham ke kalangan para ibu.
“Dari diri sendiri, saya sedang menggalakkan supaya orang kenal apa itu saham. Saya ingin saham membudaya. Salah satunya pada ibu-ibu rumah tangga. Sebaiknya investasi dipecah, tidak hanya di deposito. Tapi juga investasi lewat saham. Selama ini bisnisnya orang Indonesia masih tergolong tradisional. Tidak jauh dari jual beli rumah, tanah dan mengumpulkan emas atau deposito,” ujar wanita penggemar
Kesempatan investasi saham masih sangat luas. Bagi ibu rumah tangga, bisnis ini bisa dilakukan usai mengurus anak. Dan yang pasti tidak mesti dipantengi ke bursa efek indonesia. Karena pekerjaan ini dapat dibantu oleh para sales equity.
“Namun seorang pialang atau broker hanya sebagai penghubung jual dan penghubung beli. Makanya kita harus memberikan pelayanan yang baik. Jadi ketika klien bertanya, saham itu layak nggak untuk dibeli atau dijual, broker memberi masukan. Merupakan sebuah kebahagiaan kalau orang untung dari saham yang kita rekomendasikan,” lanjut Retno.
Tentang stigma buruk yang masih melekat dalam benak orang bahwa pekerjaan sebagai pialang saham buruk, itu lebih kepada ketidak tahuan orang terhadap dunia saham dengan baik.
Retno menyarankan sebelum memutuskan berinvestasi saham, seseorang memahami product knowledgenya.
Suka duka sebagai pialang? Banyak sekali, namun lebih banyak suka ketimbang dukanya. Retno memberi contoh, tahun 2008 saat terjadi krisis ekonomi yang berdampak pada bidang saham di seluruh dunia.
“Sampai-sampai sale off 80 % lho. Dukanya ya saat terjadi krisis ekonomi atau terjadi rush. Secara psikologis, duka klien juga duka kita. Badan bisa meriang, makan juga nggak enak tuh,” kata Retno.
Retno memberi tip berinvestadi saham dengan aman, pakailah uang yang memang tidak dipakai dalam jangka waktu cepat (iddle money). Sebab yang membuat orang merugi bermain saham, lantaran mempergunakan uang yang harus dicairkan segera. Berbeda jika yang digunakan iddle money, saham relatif aman. Sehingga dapat menunggu sampai mendapat moment yang tepat untuk menjual dan membeli. Resiko pakai uang yang dibutuhkan segera, jika terjadi post major, bukannya untung malah buntung. Seperti kejadian tsunami di market, kalau orang yang pakai iddle money tidak akan merugi karena masih dapat menahan diri untuk tidak buru-buru menjual sahamnya.
“Sementara kalau suka, secara finansial bekerja di pasar modal, untuk diri sendiri lebih terjamin lah. Sukanya lagi apabila klien yang kita pegang mendapat keuntungan dari saham-saham yang kita rekomendasikan, tentunya ikut bangga. Karena bisa memberikan yang terbaik untuk klien,” kata mantan pengurus Ikatan Pialang Efek Indonesia (IPEI) .

Seimbangkan Diri
Retno merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Alfandy dan Mutiah. Sang ayah seorang pekerja borongan dan ibu memiliki usaha konveksi.
Orang tua mendidiknya agar menjadi orang yang penuh kasih, ikhlas dan selalu berjuang.
“Bapak selalu mengajarkan kepada anak-anak agar tidak nrimo pada keadaan. Walaupun hidup dengan keterbatasan, anak –anak harus kuliah.
Sementara ibu saya cukup streng banget ke agama. Jadi bapak dan ibu merupakan kombinasi yang kuat. Kalau bapak filsafat jawanya yang kuat.
Saya yakin doa orang tua yang membuat saya seperti sekarang. Pesan orang tua saya, dalam hidup ini kita harus seimbang dan jangan segan-segan nolong orang. Apa yang kita kerjakan harus didasari oleh keikhlasan,” ucap Retno.
Berbekal semua nasehat orang tua, kini Retno memetik buah manis dari perjuangannya sejak lama.
Di saat waktu luang, Retno tak lupa menyalurkan hobinya dalam memanjakan diri.
“Aku paling senang melakukan perawatan tubuh. Facial, totok wajah, spa adalah hal rutin yang selalu saya lakukan setiap minggu secara bergantian.
Jika minggu ini spa, minggu berikutnya facial dan totok wajah. Kemudian minggu berikut perawatan laser untuk wajah, leher dan perut supaya tidak terlalu berlemak dan tak lupa hair spa juga,” ujarnya.
Begitulah cara Retno menyeimbangkan dirinya. Selepas didera pekerjaan yang begitu padat, pergi ke salon dan spa merupakan upaya untuk merefresh diri.
Keuntungannya, tubuh menjadi terawat dengan baik, kulit bersih sehat dan look fresh. Ketika mind and body tidak loyo, semangat dan rasa percaya diri semakin tinggi. Untuk olahraga, Retno memilih renang, fitness dan sesekali golf.
“Saya senang melakukan semuanya di rumah. Alhamdulillah, fasilitas mendukung. Agar lebih terarah, saya panggil personal trainer untuk fitness. Untuk golf, terkadang kalau sedang malas ke luar, di sebelah rumah ada mini driving range dan mini golf. Kebetulan anak saya Ocha (sapaan untuk Viera-re) merupakan atlet golf, jadi untuk mempermudah dia latihan kami buatkan lapangan untuk latihan,” katanya.


Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1101. Foto: Muchamad Nur Ridho

Senin, 28 Maret 2011

Cermin




Boki Ratu Nita
Kala Ditolak Sebagai Ibu Idola


Terjun berpolitik, ia pernah dicelotehi rakyatnya, dinilai sekadar jabatan aji mumpung sebagai istri Sultan Ternate. Salah satu putranya malah sempat protes dan menolaknya sebagai sosok Ibu yang diidolakan.
Boki Ratu Nita Budhi Susanti. SE, istri Sultan Ternate ke -48 Mudaffar Sjah. M.Si. Ia mengawali langkah politik melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah, kemudian melompat sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrat.

Tokoh Reformis dari Ternate

Boki mengaku ketertarikannya pada dunia politik setelah sering terlibat diskusi dengan suami. Sultan pula yang melihat sang istri memiliki talenta untuk berkontribusi di dunia politik praktis.
“Awalnya saya tidak menyukai dunia politik. Karena dalam politik itu ada sebuah ruang yang tidak sesuai dengan situasi kita sebagai tokoh adat. Ada rambu-rambu yang kadang-kadang tidak bisa direm, tak terkendali seperti bola liar. Ada ruang yang tidak pas buat kita. Sebagai tokoh adat seharusnya berada di tengah-tengah sebagai pengayom, sementara bicara politik itu pasti terjadi pengkotak-kotakan,” ujar Boki di ruang kerjanya lantai 22, gedung DPR-RI, Jakarta.
Ia lalu bertanya kepada Sultan, kenapa harus berpolitik?
“Sultan menjelaskan, justru kita harus berpolitik. Kalau kita tidak berpolitik hak-hak kita akan semakin dipinggirkan. Sedangkan kita ini penjaga tatanan dari masyarakat adat,” ungkap Boki.
Beragam komentar ia dengar ketika mulai berpolitik.
“ Pernah dalam sebuah diskusi dengan civitas akademi, terutama mahasiswa mengecam saya. Mereka tidak terbiasa melihat seorang permaisuri itu berpolitik. Selama ini kan masyarakat sudah terbiasa dengan sesuatu yang normatif ,di mana mungkin pendahulu saya tidak pernah berbuat seperti saya. Ketika saya memilih jalan ini, mungkin menjadi sesuatu yang aneh. Begitu saya terjun ke politik dan berhasil mendapat dukungan, sempat ada yang bilang begini; ‘Kalau Anda bukan istri Sultan, nggak mungkin akan terpilih’. Mereka sangat to the point,” ceritanya.
Boki tidak menanggapi dengan emosi. Penasihat Muslimat NU provinsi Maluku Utara ini mengajak mereka berpikir objektif.
“Saya bilang ,’Justru pertanyaan saya balikkan lagi pada saudara. Kenapa saya sebagai seorang wanita pendatang di daerah ini memiliki niat yang baik untuk membangun daerah Anda. Di mana kalian? Kenapa tidak ingin maju seperti saya? Di mana ruang politik di Indonesia ini membebaskan semua orang untuk maju menjadi apa saja. Terutama di dalam kedudukan politik. Kenapa tidak maju, tidak mau? Saya ajak mereka berpikir secara objektif. Saya bilang sekali pun saya suami raja, kalau saya tidak memiliki kemauan, apa bisa. Dan saya tidak memiliki kemampuan, apa bisa terpilih? “tutur Boki yang blasteran Belanda-Perancis-Jawa ini.
Ia pun dianggap sebagai tokoh reformis perempuan yang berpolitik di Maluku Utara dan tingkat nasional.

Kala Anak Tak Mengidolakan Ibunya

Menjalankan banyak peran dalam hidupnya, Boki berusaha membenahi manajemen waktu agar semuanya berjalan secara seimbang.
“Agak complicated memang. Karena ini menyangkut manajemen berbasis kinerja. Jadi manajemen saya atur sedemikian rupa, kapan tugas saya sebagai anggota DPR di komisi XI, mengikuti rapat-rapat dan ketika saya menjadi tokoh daerah. Kemudian bagaimana membagi waktu dengan anak-anak dan suami. Kadang anak- anak sengaja saya ajak ke kantor. Mereka belajar di ruangan saya. Jika ada rapat di hotel, mereka ikut menginap bersama saya. Tujuannya supaya mereka bisa melihat tugas Ibunya itu seperti apa,” tutur Boki.
Ibunda Nesya Fitri Hanindya,19, Nadia Tsabitah,17, Hafis Ayyashi,15, Nabila Purboningsih Mudaffar Sjah,10, dan Azka Nukila Purboningrum Mudaffar,9, ini suatu ketika pernah mendapat protes dari salah satu anaknya, karena dinilai tidak membeirkan waktu yang banyak bersama mereka.
Boki pun menanggapinya sebagai sesuatu yang manusiawi. Ketika seorang anak merasa kurang mendapat perhatian ibunya. Namun tak hanya sampai di situ, protes berikutnya datang dari putra ketiga. Dengan tegas Hafiz mengatakan tidak mengidolakan Ibunya. Kalimat ini langsung menohok bagian terdalam hati Boki.
”Saya terkaget-kaget, lalu saya tanya alasannya. ‘Karena Mommy jarang di rumah dan tidak seperti ibu-ibu lain yang hanya arisan, masak di rumah’. Saya pikir inilah bahasa polos anak-anak. Artinya menjadi tidak sederhana. Prinsip saya kan paling tidak harus balance intern dan ekstern Masalahnya, banyak kaum wanita yang memiliki kegiatan di luar sering melupakan itu,” ujar Boki.
Boki kemudian berbicara dari hati ke hati dengan putranya itu. Ia pun menjelaskan bahwa dari jutaan wanita di Indonesia tidak semua mendapat kesempatan menjadi wakil rakyat di DPR.
“Menjadi seorang Ibu rumah tangga merupakan ibadah. Tapi itu komunitasnya lebih kecil, hanya untuk anak dan suami. Saya katakan ‘Kamu harusnya berbangga. Bahwa ini suatu jalan yang dipilih oleh Allah dan harus disyukuri sebagai sebuah rahmat yang tak terhingga. Bahwa Mama terpilih untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan orang banyak. Kamu nggak usah takut kehilangan Mama karena kini rakyat pun jadi anak Mama juga. Jabatan itu amanah, Mas. Akhirnya kami sering diskusi. Soal negara dan banyak hal. Alhamdulillah, sekarang justru mendukung saya,” kata Boki, tersenyum.
Binar bangga terpancar dari wajah wanita cantik ini tatkala membicarakan karakter putra-putrinya.
“Putri pertama saya kuliah di UI Internasional, dia mengambil double degree. Putri yang kedua, duduk di bangku SMA High Scope, yang nomor 4 dan 5 masih duduk di bangku SD. Si Kakak, pola pikirnya bule banget dan lebih cepat memahami. Tapi dia sangat care pada saya, yang nomor 5 juga begitu. Kalau saya terlihat sibuk sekali, mereka tanya, ‘Sudah makan belum, Mom? Lalu yang nomor 4, sudah seperti sekretaris saja. Dia selalu melihat teve dan kemudian memberikan report. ‘Mama ini ada kejadian bencana alam. Korban sekian jumlahnya. Waktu Situ Gintung pun dia mencatat data. Ketika lihat saya di teve, pulangnya berdiskusi lagi dengan mereka. ‘Kenapa Mama punya pemikiran demikian?’” tutur Boki.
Menerapkan keterbukaan dan memposisikan diri sebagai tema, kadang seperti seorang kakak, begitulah Boki pada buah hatinya. Bahkan ia masih sempat mendandani putrinya saat mau pergi ke pesta.
“Kemarin anak saya menang sebagai the best dress dari hasil rancangan dan make up saya,” cerita Boki, bangga.

Boks : Intuisi Seorang Sultan


Boki berkenalan dengan Sultan secara tidak sengaja ketika sama-sama sedang berada di salah satu gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
“Ketika itu saya sedang menunggu teman bisnis. Pak Sultan mengajak kenalan. Saya biasa-biasa saja waktu itu. Rupanya Sultan punya intuisi tersendiri ketika bertemu saya. Katanya waktu lihat saya, seperti ada cahaya putih di kening saya. Jadi di situlah mulai pendekatan,” kenang putri Solo kelahiran Semarang, 7 Juli 1968 ini.

Suami dan Ayah yang Baik

Dua tahun proses saling mengenal, barulah Boki menerima pinangan Sultan yang ketika itu berusia 63 tahun. Di mata Boki, Sultan, seorang suami dan ayah terbaik di dunia. Sosok yang penuh kelembutan. Setiap perbedaan pendapat, disikapi dengan elegan.
“Dalam rumah tangga kan tak pernah luput dari perbedaan. Namun di antara kami tidak pernah ada kata-kata keras atau kasar. Jika sedang ada ketidakcocokan kami lebih menunjukkannya dengan simbol-simbol dan gaya bahasa. Contohnya, saya tahu Sultan lagi marah ketika diajak bicara jawabannya pendek-pendek. Membuat saya berpikir,‘Oh ada yang salah nih’. Sultan itu kan senang tertawa, tapi kali ini kok nadanya menyindir. ‘Oh berarti harus ada yang diubah’,” tutur Boki.
Meski hidup dalam keraton beraroma feodal, Sultan memiliki pemikiran yang modern. Ia pernah mengenyam pendidikan di Australia sehingga turut mempengaruhi Boki dalam menerapkan sistem pendidikan pada kelima anaknya.
“Saya bersyukur Sultan itu sangat open minded, saya juga begitu. Kami membiarkan anak-anak berkembang sesuai karakter dan bakatnya. Otomatis cara pendekatan antara satu dengan yang lain berbeda. Anak saya yang pertama strik, fokus dan sangat tertata. Anak kedua, pintar dan tidak suka sesuatu yang bersifat mengikat. Meski begitu, kami tetap berpegang pada aturan di dalam keraton. Misalnya agenda makan, salat berjamaah tidak boleh dilewatkan. Saya dan Sultan sangat dekat dengan anak-anak. Ketika salah satu anak mendapat hadiah coklat dari seorang cowok di hari Valentine, anak juga cerita,” tutur Boki.

Berdayakan Perempuan Secara Ekonomi

Di tengah kesibukannya sebagai legislator, Boki menekuni hobi koreografi untuk momen-momen kebudayaan. Bersama sanggar kesultanan, Boki kerap menggelar kegiatan seni budaya.
Sejak kecil Boki senang menari. Beragam tarian, khususnya tari klasik Jawa hingga kini mampu ia lakukan dengan baik. Bakat seni dalam bidang desain busana juga tak kalah besarnya. Boki mendesain sendiri busana-busana yang digunakannya ke kantor.
“Saya suka mengenakan semua daerah karena saya sangat menghargai budaya. Tapi kalau di Jakarta, simpel saja, nggak perlu berkonde. Make up dan sanggulan saya sendiri. Cantik itu nggak harus mahal. Agar terlihat indah tergantung bagaimana memadu padankan,” ujar penggagas Acara Pesta Rakyat Maluku Utara Legu Gam Moloku Kie Raha, dimana sekarang menjadi ikon daerah dan salah satu agenda wisata nasional.
Ke depan Boki bercita-cita menjadikan para wanita Ternate mampu secara ekonomi. Boki menilai, dibanding yang lain, wanita Ternate masih jauh tertinggal. Sumber daya manusianya belum tergali maksimal. Antara hak dan kewajiban belum seimbang. Seringkali hak mereka untuk mendapat perlindungan, kasih sayang dan hak berpolitik, hak berbangsa dan bernegara belum terpenuhi.
“Saya ingin lebih menekankan memberdayakan perempuan dari sektor perekonomian. Karena kalau wanita sudah berdaya di sektor perekonomian, setelah itu dia bisa menjadi apa saja. Dia siap memenej rumah tangga,sekaligus bisa memberikan income buat keluarga. Siap bila terjadi sesuatu dengan suaminya. Dan siap berpolitik jika sudah mempersiapkan dari sisi ekonomi. Memang tidak serta merta, harus dibuka mind setnya lebih dulu,” ujar tokoh peredam konflik politik Pilkada Gubernur Maluku Utara 2007 – 2009 ini.
Boki sudah merintisnya dengan mengajak masyarakat membuat kerajinan, memanfaatkan buah pala untuk dijadikan sirup, selai, dodol dan permen. Daging pala yang selama ini sering dibuang percuma oleh masyarakat menjadi sesuatu yang bernilai jual.
Lagi-lagi, sempat ada yang berpikir skeptis, ‘Permaisuri kok berbisnis?’.
“Saya bilang, tolong dipisahkan. Permaisuri-permaisuri jaman dulu turut memanggul senjata ikut melawan penjajahan. Permaisuri kini menyesuaikan dengan keadaan, yang kita lawan sekarang penjajah dalam bentuk kemiskinan, kebodohan. Melalui jalur apa? Ekonomi, politik, sosial, budaya. Jadi memang nggak gampang ngemong satu-satu orang. Tapi saya tidak akan pernah putus asa,” tutup Boki, serius.


Dalam Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1107. Foto: Muchamad Nur Ridho

Senin, 01 Maret 2010

Kisah Sejati





Sumirah
“Arifahku Lahir Tanpa Bola Mata’




Hidup tanpa bola mata dan lumpuh, dilalui Arifah, 13, di sebuah perkampungan nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara. Penderitaan gadis cacat ini seolah lengkap, tatkala seorang lelaki pemabuk merenggut kegadisannya.



Ketika anak seusianya asyik menikmati status sebagai pelajar, Arifah, hanya bisa termangu diam di rumah kontrakan berukuran 3x3 m. Sehari-hari gadis kecil itu melakukan aktivitas berjalan dengan bantuan pantatnya, mengesot. Jika bosan menyergap, Arifah menyusuri tiap sudut rumah petak yang terletak di Blok Empang Gang Satu tersebut. Sumirah, 41, ibunda Arifah berusaha menjauhkan benda-benda yang membahayakan keselamatannya.
“Gelas, piring dan kabel listrik sedapat mungkin harus dijauhkan dari Arifah. Soalnya kalau sudah ngesot (beringsut) kemana-mana, tangannya nggak bisa diam. Saya khawatir kalau saya nggak ada di rumah, nanti dia celaka,” ungkap Sumirah.
Beruntung, sejak Jumat 19/2 lalu, Arifah memperoleh sebuah kursi roda, dari Yayasan Maria Monique yang peduli terhadap nasib anak-anak lumpuh dari keluarga tak mampu. Penyerahan kursi roda untuk Arifah dan belasan anak lumpuh lainnya berjalan dalam suasana penuh secara khusus mendandaninya dengan pakaian Princess seperti tokoh boneka Barbie.
Di tengah hiruk pikuk tepuk tangan anak-anak nelayan yang tengah meluapkan kebahagiaan di atas panggung, Sumirah menatap dari kejauhan Arifah terlihat cantik. Ia tak dapat membendung air mata bahagianya. Kepada Tabloid Wanita Indonesia, wanita yang sudah tiga kali menikah ini mengisahkan perjalanan hidupnya.

Tusukan Mata Cumi-Cumi
Arifah anak kelima dari pernikahan keduaku dengan Fendi, 45. Ketika kami menikah, usiaku menginjak 19 tahun dengan status janda tanpa anak. Pada 15 September 1997, lahir putri bungsuku ini. Kulitnya putih dengan rambut yang begitu tebal.
Ketika bidan mendekatkan bayiku ke tempatku berbaring, perasaan bahagia yang awalnya merasuki hatiku seketika lenyap. Kudapati Arifah dalam kondisi mata tertutup, seperti bayi yang sedang tidur. Tak hanya itu, kedua kakinya lebih kecil dibanding bayi normal.
“Bu, sepertinya mata bayi ibu ada kelainan. Untuk memastikannya, nanti saya rujuk ke rumah sakit besar ya,” ucapan bidan yang membantu persalinanku membuatku terkesiap.
Orang tuaku yang sengaja datang dari Cilacap, kampung asalku, sempat menanyakan tentang kebiasaanku selama proses mengandung Arifah. Kukatakan semua aktivitas kulalui tanpa melakukan hal-hal yang tabu.
Lantas, ibuku bertanya apakah suamiku pernah membunuh binatang saat kehamilanku. Saat hal ini kutanyakan, suamiku mengaku pernah menusuk mata cumi-cumi. Aku pun ingat ketika usia kehamilan 3 hingga 9 bulan, aku sering mengalami sakit di bagian perut. Tapi ketika aku konsultasikan hal ini pada bidan, katanya tak masalah. Meski begitu, ibuku berusaha membesarkan hatiku yang kadung hancur.
“Dulu sebelum 40 hari mata bayi selalu tertutup. Mungkin anakmu ini seperti bayi jaman dulu. Kita tunggu saja ya,” ibuku berusaha menghibur.
Namun hingga 40 hari berlalu Arifah tak kunjung membuka kelopak matanya. Sepasang mata gadis kecilku itu terus saja mengatup.
Karena tak memiliki cukup uang, aku baru memeriksakan kondisi Arifah saat usianya menjelang 4 bulan. Dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengatakan dengan bantuan donor mata Arifah sebenarnya dapat melihat lagi.
Tapi, kata dokter biayanya sangat besar sekali untuk dapat menjalani rangkaian operasi pemasangan bola mata. Sejak saat itu hingga sekarang, aku tak pernah lagi memeriksakan kondisi kesehatan mata Arifah.
Kepedihanku melihat kondisi Arifah, kian menjadi-jadi tatkala dalam pertumbuhannya Arifah kian berbeda dari bayi normal lainnya. Saat usia yang semestinya seorang bayi belajar berjalan, Arifah tak kunjung melewati fase itu. Jangankan berjalan, merangkak pun tak dilakukannya. Semakin bertambah usianya, Arifahku tak kunjung menunjukkan kepintaran seperti anak-anak kebanyakan.

Dinodai Pemuda Mabuk
Saat kecil Arifah lebih senang telanjang, tanpa busana. Aku harus bolak-balik memakaikan baju untuknya. Namun setiap kali pula Arifah melepasnya kembali. Untunglah, saat ini Arifah mau memakai baju. Apalagi kalau diiming-imingi pergi jalan-jalan, dia bersemangat memakai baju. Tapi, lagi-lagi, begitu sampai di rumah, Arifah hanya menyisakan celana dalam di tubuhnya.
Setahun lalu, entah karena perilaku ini, Arifah sempat mengalami peristiwa mengenaskan. Dia diperkosa seorang pemuda kampung yang sedang mabuk.
Kala itu, Arifah kutinggal berjualan dengan dalam kondisi pintu terkunci. Entah setan apa yang merasukinya, pemuda mabuk itu membongkar kunci rumah hingga lepas. Mendapati Arifah sedang tidur tanpa memakai busana dan hanya bercelana dalam, pemuda bejat itu merusak kegadisan buah hatiku.
Arifah mengalami pendarahan hebat. Aku masih bersyukur kelakuan pemuda tersebut segera ketahuan warga dan langsung dibawa ke kantor polisi. Karena kesalahannya dia dihukum selama 15 tahun penjara. Usai peristiwa tersebut, Arifah tampak syok dan trauma setiap mendengar suara laki-laki yang berbicara di dekatnya.
Maafkan Ibu, nak. Semua ini karena Ibu tak dapat menjagamu dari tangan-tangan jahat. Sekali lagi maafkan Ibu...kalimat ini aku bisikkan ke telinga putriku.
Kini, aku pun tak mau lama-lama meninggalkan Arifah sendirian di rumah kontrakan. Namun, sebagai ibu yang menghidupi anak tanpa suami karena aku sudah bercerai dari suamiku sekitar 2 tahun lalu, aku harus lebih giat mencari nafkah.
Jam 8 malam hingga 5 pagi, Arifah kutinggal berjualan. Sepanjang malam hingga terbit matahari, aku berkeliling menawarkan secangkir kopi, susu hingga mie rebus dalam gelas.
Uang yang kudapat tak lebih dari Rp. 50.000/ malam. Alhamdulillah, cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari itu pun masih harus menyisihkan untuk kontrak rumah sebesar Rp. 250.000/bulan. Rumah yang kami tempati sekarang terbilang lebih baik dengan fasilitas lantai keramik. Setidaknya kondisi ini membuat nyaman bagi Arifah daripada tinggal di rumah panggung beralaskan lantai kayu.
Bahkan kalau aku punya sedikit modal, aku ingin membuka warung nasi saja. Profesi penjual kopi aku tinggalkan agar Arifah senantiasa dalam pengawasanku.

Bertemu Tamara dan Mike Lewis
Kendati keinginan ini belum terwujud hingga kini, tapi saat ini aku tengah berbahagia. Beberapa hari lalu, Arifah mendapat hadiah sebuah kursi roda dari artis terkenal Tamara Bleszynski dan Mike Lewis yang dititipkan lewat Yayasan Maria Monique.
Aku tak pernah bermimpi bakal mendapat anugerah sebesar ini. Tak pernah terbayangkan olehku suatu ketika Arifah mendapat bantuan kursi roda. Tapi, itulah kebesaran Allah SWT, dikirimkan-Nya seseorang yang bersimpati pada anakku.
Bahkan saat menerima kursi roda, Yayasan Maria Monique memberi kesempatan pada Arifah memberikan rangkaian bunga sebagai ungkapan terima kasih kepada Tamara dan Mike. Gara-gara itu pula, aku dan Arifah dapat menginjakkan kaki ke sebuah hotel mewah.
“Kita lagi dimana Bu? Hawa di sini sejuk ya. Arifah senang disini,” kata Arifah berbisik ke telingaku. Arifah senang di sini? Kita lagi diajak ke hotel. Sebentar lagi Arifah akan ketemu Tamara dan Mike. Kamu pasti senang ketemu artis ya?’ aku menjawab Arifah.
Arifah tampak senang ketika tangannya digenggam penuh kelembutan oleh Tamara dan Mike.
Terima kasih Tuhan atas nikmat yang tak pernah henti-hentinya Kau turunkan buat Arifah.

Kamis, 18 Februari 2010

Kisah Sejati


Maria Yustina
(Ibunda Anak Penyandang Down Sindrom)


‘Kudidik Stephanie Layaknya Anak Normal’

Mampu memainkan 22 lagu dengan piano, membawa Stephanie Handojo, 18 sebagai pencipta rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pada 22 Desember 2009 lalu. Sebuah prestasi yang membanggakan untuk seorang anak penyandang down sindrom.


Tak hanya itu, gadis berkulit putih itu, juga berprestasi di bidang olahraga renang. Kini, ia sedang berlatih keras untuk meraih kesempatan mengikuti kejuaraan renang di ajang Special Olympics World di Athena 2011 mendatang.
“Bulan Juni ini, Fanie akan mengikuti seleksi sebagai persyaratan ke Athena 2011,” kata Maria Yustina, 45, Ibunda Fanie.
Sebagai orang tua, Yustina-begitu dia akrab disapa-, bersyukur dengan kemajuan yang ditunjukkan Fanie.
Sejenak, matanya menerawang jauh ke depan. Ingatan Yustina terbang ke masa-masa sulit ketika proses ‘memanusiakan’ putri sulungnya itu dimulai.
Di kediamannya yang asri di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Yustina mengisahkan perjuangannya kepada Tabloid Wanita Indonesia.


Mandiri Sejak Kecil
Aku adalah seorang wanita beruntung karena dilahirkan dari keluarga berkecukupan. Lahir 45 tahun silam, masa kecil kulalui di Pasuruan, Jawa Timur, dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tua dan saudara kandungku. Aku merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara.
Sayang, di usia 7 tahun, ayah yang kucintai pergi menghadap tuhan-Nya. Sejak saat itu, aku dibesarkan ibu dan 9 orang kakakku.
Lulus sekolah menengah pertama, aku melanjutkan SMA, perguruan tinggi hingga akhirnya berumah tangga di kota metropolitan Surabaya, Jawa Timur.
Meski jauh dari keluarga, bukan berarti aku hidup bebas semaunya. Selama 24 jam penuh, mereka tetap memantau segala aktivitas yang kujalani.
Hal ini tak membuatku terkungkung, justru kuambil saja sisi positifnya. Yang pasti mereka tak ingin melihatku hidup susah di kemudian hari.

Bertemu Jodoh Lewat Mimpi
Usai menamatkan kuliah di fakultas ekonomi, Universitas Surabaya (Ubaya), aku dipersunting seorang pria yang empat tahun lebih tua dariku.
Santoso Handojo, begitu nama lengkapnya. Ia merupakan teman salah satu kakakku sekaligus kakak seniorku di kampus. Bahkan ia menjadi panitia waktu acara orientasi mahasiswa baru pada angkatanku.
Uniknya, jauh sebelum dipersatukan Tuhan dalam sebuah pernikahan, aku sudah mengetahui bahwa pria ganteng lagi pintar itu adalah sosok yang akan menjadi jodohku kelak.
Suatu hari aku bermimpi melihat figura bergambar dirinya. Lantas, sebuah suara mengatakan pria di dalam figura itu adalah jodohku.
Alangkah kagetnya aku ketika melihat dari dekat, ternyata pria di dalam figura itu adalah kakak kelasku sendiri.
Sebagai orang beriman, aku tidak mempercayai begitu saja. Aku juga tak mengambil inisiatif terlalu jauh agar mimpi tersebut terealisasi.
Setahun, dua tahun bahkan tiga tahun tanda-tanda akan berjodoh dengannya tak terlihat. Yang kuketahui dari kakakku, selesai kuliah pria itu langsung bekerja di luar kota Surabaya. Aku pun memutuskan untuk melupakan saja mimpi itu.
Tapi, tak lama setelah itu Tuhan justru mempertemukanku kembali dengannya. Akhir Desember 1989, secara tak sengaja kami bertemu di sebuah supermarket. Sejak saat itu, sepertinya Tuhan benar-benar ingin menunjukkan sekaligus menyakinkanku bahwa dialah jodohku.
Singkat cerita, Januari 1991, aku resmi menjadi Nyonya Santoso Handojo. Kebahagiaan kami semakin lengkap, ketika April di tahun yang sama aku mengetahui diriku hamil.
Hari-hari sebagai calon ibu kulalui sambil bekerja sebagai analis kredit di sebuah bank swasta di Surabaya.
Namun karena sempat mengalami pendarahan hebat, dokter menyarankan untuk istirahat total. Akhirnya aku memilih berhenti bekerja.

Janinku Hilang Mendadak
Setiap kali memeriksakan kandungan, aku ditemani Mamiku. Suatu kali, usai mengalami pendarahan aku kembali memeriksakan kandungan pada dokter yang kupilih (dia seorang dokter spesialis kandungan sekaligus spesialis genetika). Pernyataan sang dokter yang mengatakan bahwa janin di rahimku sudah tak ada, cukup mengagetkan kami.
‘Tapi anehnya detak jantung janin masih terdeteksi,’ kata dokter sambil mengeryitkan dahinya.
Akhirnya dia menyuruhku datang lagi minggu depan untuk dilakukan tindakan kuretase. Hari itu, aku dan Mami kembali dengan perasaan sedih.
Di hari yang telah ditentukan, sebelum dokter mengambil tindakan tersebut, Mami melakukan bargaining dengan dokter. Ternyata Mami berpegang pada ucapan dokter yang mengatakan bahwa masih ada detak jantung yang terdeteksi.
“Dokter, saya mohon dilakukan USG sekali lagi untuk memastikan bahwa janin bakal cucuku memang sudah ngga ada. Bukannya saya tidak percaya pada dokter,” harap Mami dengan suara lirih. Kemudian kami saling berpandang-pandangan.
Melihat wajah Mami yang penuh harap, dokter tak kuasa menolaknya. Untuk kesekian kali dokter memutar-mutarkan alat USG pada perutku, mencari apakah ada tanda-tanda kehidupan di perutku yang mulai membuncit.
Karena tak dapat melihat secara langsung monitor pada USG, aku berusaha mencari tahu jawabannya dari mimik wajah sang dokter.
Rasanya saat itu aku lebih percaya dengan bahasa tubuhnya ketimbang mendengar langsung kalimat yang akan disampaikan dokter itu.
Dari wajah yang terlihat serius, 2 menit kemudian seukir senyum keluar dari balik bibirnya.
‘Perkiraan Ibu benar. Ternyata janin bakal cucu Ibu sudah saya temukan. Minggu lalu nyelip kemana dia ya? Kok mendadak tidak bisa dideteksi dengan USG?. Coba lihat, janinnya kasih lihat wajah dan tangannya pada Mama dan Omanya,’ ujar sang dokter mengagetkan kami berdua.
“Puji Tuhan. Terima kasih, Dokter sudah menemukan cucuku yang hilang,” ucap Mami. Setitik air bening mengalir pelan dari ujung kedua matanya.
Aku pun tak lupa bersyukur dengan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepadaku.
Tuhan, untung aku tak ceroboh dalam mengambil keputusan. Jika, bukan karena Mami mungkin aku sudah menghilangkan buah cintaku sendiri.
Di akhir pertemuan, dokter memberikan obat penguat guna memperlancar kehamilanku selanjutnya.

Dari Ada Dan Tiada, Semuanya Karena Tuhan
Dari bulan ke bulan, semuanya berjalan lancar. Di usia menjelang 9 bulan, aku melahirkan seorang bayi perempuan.
Proses persalinan bayi pertamaku berjalan lancar. Namun, yang membuatku sedikit curiga, begitu bayiku keluar dokter dan suster bisik-bisik di belakangku.
Dengan refleks, aku bertanya,” Kenapa Dok, bayiku sehat kan? Lengkap nggak semuanya?.”
‘Oh nggak apa-apa. Bayi Ibu lengkap semua kok. Ibu tenang saja dulu ya,’ kata-kata dokter berusaha menghentikan kekhawatiranku.
Sebelum dibawa ke ruang perawatan bayi, aku sempat mencium wajah putri cantikku yang diberi nama Stephanie Handojo.
Sesuai ucapan dokter, anggota tubuh Stephanie tak ada yang kurang atau cacat.
“Terima kasih Tuhan,” kataku dalam hati.
Tapi, ada satu hal yang mengganjal perasaanku. Ketika keluar dari rahimku, suara tangisan Fanie sama sekali tak terdengar.
Lamunanku pecah ketika suamiku mendekat. Dia mencium keningku.
“Selamat ya sayang. Mulai saat ini kita akan merawat Stephanie bersama-sama. Tapi tadi dokter mengatakan nantinya perkembangan Stephanie akan lambat. Karena dia lahir down sindrom,” kata suamiku dengan sangat hati-hati.
Jujur, saat itu aku sama sekali tak tahu apa itu down sindrom. Makanya ketika suamiku mengutarakan hal itu, tanggapanku biasa saja.
“Oh ya sudah, kalau Cuma lambat saja.. Nanti kalau sudah gede juga normal lagi kan,” jawabku datar.
“Kata dokter lagi, merawat anak down sindrom dibutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Aku percaya kamu bisa melakukan itu. Kita berdua akan saling support ya,” ujar suamiku lagi.
Aku merasakan shock ketika suamiku menekankan kata-kata itu. Kesedihan yang mendalam sempat menggelayuti perasaanku. Terlebih Stephanie merupakan anak pertama kami.
Meski sedih, aku dan suami tak pernah memprotes Tuhan. Kami sadar bahwa ini merupakan jalan dari-Nya.
Aku langsung teringat, dari proses mengenal suami, menjalani masa kehamilan yang sempat kehilangan janin adalah campur tangan Tuhan.
Itu berarti Tuhan sedang menguji keimananku. Aku percaya semua yang datang dari tuhan, akan menemukan jalan keluarnya.
Seperti yang kusepakati dengan suami, kami harus segera mencari jalan keluar untuk Fanie. Kami mencari tahu penangganan yang tepat pada anak down sindrom.
Untunglah, paman suamiku memiliki kenalan seorang dokter yang memiliki pengalaman sebagai orang tua anak down sindrom. Namun sayangnya, di usia 16 tahun anak tersebut meninggal dunia.
Ketika kami menemuinya, dokter itu meminjamkanku banyak buku yang membuka cakrawala tentang apa itu down sindrom.
Kesimpulan dari yang kubaca, Stephanie harus mendapat penangganan selama 24 jam penuh.

Tes Genetik
Meski aku dan suami telah mengikhlaskan kenyataan ini, dokter yang menanggani persalinanku menyarankan kami untuk melakukan tes genetik. Hal ini dilakukan untuk menjawab teka-teki penyebab down sindrom yang dialami buah hati kami dan tidak terjadi saling menyalahkan satu sama lain dalam keluarga besar.
Setidaknya hasil tes melegakan semua pihak karena diketahui penyebab down sindrom pada Stephanie bukan karena faktor genetik melainkan akibat pertemuan sel telur dan sperma yang kurang bagus.
Pada rapat keluarga pun, semuanya bersikap tak menyalahkan satu sama lain. Orangtua kami meminta kami untuk kompak dalam membesarkan dan memberikan kehidupan yang terbaik bagi Stephanie.
Mendapatkan dukungan yang sangat besar ini, aku dan suami tentu saja bersuka cita tapi sekaligus sedih.
Sedih, karena kurangnya informasi tentang down sindrom membuat keluarga besar kami tidak terlalu mengkhawatirkan perkembangan Stephanie. Bahkan aku merasa mereka terkesan memandang enteng terhadap masalah down sindrom.
Dengan tekad bulat, aku melakukan terapi sendiri Stephanie. Hal ini kulakukan setelah memperoleh jawaban yang kurang maksimal dari beberapa dokter. Mereka mengatakan bahwa perkembangan Stephanie hanya akan begini-begini saja atau dengan kata lain ‘jalan di tempat’. Karena mendapat jawaban yang sama, sampai-sampai aku tak mempercayai dokter.
Agar tak terlambat, aku membuat sendiri program untuk menstimulasi Stephanie.
Untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan yang dicapai, aku pun membuat tabel perkembangan untuk Fanie. Tabel itu sama persis dengan tabel untuk anak normal.
Step by step, stimulasi yang kuberikan pada Fanie. Aku memang bertekad mengejar keterlambatan Fanie. Sebulan, dua bulan, perkembangan yang ditunjukkan Fanie masih dibawah harapanku.
Di usia 7 bulan dia sudah bisa tengkurap dan duduk tapi tidak semaksimal anak normal.
Fanie juga kuajarkan tertawa, tapi yang dia bisa lakukan hanya mesem saja. Sampai usia 8 bulan Fanie belum dapat tertawa lepas seperti bayi lain.
Berbagai alat peraga kuhadirkan untuk menstimulasinya. Kerincingan untuk menguatkan otot matanya. Fanie tidak langsung bisa melihat arah suara. Hanya menoleh sebentar, kemudian dia menunduk lagi. Gerakan lehernya sangat pelan. Aku menstimulasi terus menerus hingga akhirnya Fanie dapat menaikkan leher sendiri (tanpa bantuan) saat usia 10 bulan.
Aku tak malu memiliki anak down sindrom. Meski kerap mendengar beberapa tetangga yang mempunyai anak seusia Fanie, sering membangga-banggakan kepintaran anak mereka di depanku. Aku berusaha untuk tidak sakit hati.
Semakin kudekap Fanie dengan cinta. Aku yakin bahwa suatu saat putri cantikku itu dapat berinteraksi dengan banyak orang tanpa rasa malu dengan keterbatasannya.
Kehadiran Fanie, benar-benar kutunjukkan pada dunia. Aku ingin Fanie tidak canggung bertemu dengan orang. Kemana pun pergi dia selalu kubawa serta, termasuk jalan-jalan di mal.

Sempat Ditolak Masuk Sekolah
Senangnya hatiku, melihat Fanie dapat melangkahkan kaki mungilnya tanpa harus berpegangan. Di usia tersebut dia juga sudah bisa makan sendiri.
Waktu belajar menyendok, Fanie kuajari runtutan gerak. Awalnya Fanie hanya mampu menaikkan sendok sampai ke dada, aku membantunya menaikkan sampai ke dagu.
Aku juga punya trik, kalau makanan lebih banyak dibuang. Aku punya cadangan makanan yang tetap harus masuk ke perutnya.
Lulus belajar menyendok, pelajaran meningkat ke terapi menggengam lilin, meremas dan menyobek-nyobek kertas.
Usia 20 bulan, aku mulai terpikir untuk menyekolahkan Fanie. Pertimbanganku karena dia sudah dapat berjalan, makan sendiri dan membersihkan sisa makanan yang menempel di mulutnya. Bahkan tisue bekas yang dipakainya dapat dibuangnya ke tempat sampah.
Tapi keinginan tersebut sempat terganjal karena tak ada sekolah yang mau menerimanya.
Untuk kebaikan Fanie, sesuai janjiku bersama suami segala upaya terus dilakukan. Akhirnya tuhan mempertemukanku dengan pemilik Sekolah Diana. Meski awalnya ragu menerima anak dengan kebutuhan khusus, Ibu Diana berjanji akan merapatkan dulu dengan anggota yayasan sekolah Diana.
Walau belum sepenuhnya mendapat jawaban, aku senang dengan cara Ibu Diana memberikan solusi untuk Fanie.
Dari sejak lama, aku memang sudah berkeinginan menyekolahkan Fanie di sana karena siswa diajarkan dengan bilingual.
Ketika Ibu Diana memberi jawaban, kupikir dia hanya memberi waktu 1-2 minggu untuk Fanie. Ternyata Fanie boleh belajar selama 2 tahun di Sekolah Diana.
Di sana, Fanie mendapat perlakuan sama dengan teman-temannya yang normal. Bedanya hanya saja Fanie diberi guru pendamping yang berfungsi sebagai pengganti orang tua. Dua tahun belajar di play grup, banyak kemajuan yang ditunjukkan Fanie.
Di samping itu, aku tetap menstimulasi Fanie di rumah. Dalam mengajarinya aku mempersiapkan media. Misalnya, saat memperkenalkan aneka rasa, aku langsung perkenalkan pada makanan dengan aneka rasa pula.
Ketika aku sedang keluar rumah, pekerjaan ini kudelegasikan pada pembantu di rumah. Ada 2 buku, yakni buku petunjuk dan buku realisasi. Misal; dalam buku petunjuk, ambil buku tentang alam semesta. Apapun progresnya pembantuku harus menulisnya pada buku realisasi. Kalau Fanie sedang tak mau belajar, pembantu kuminta untuk tidak memaksa.
Setiap keberhasilan yang ditunjukkan Fanie, aku memberikan penghargaan dalam bentuk pelukan dan ciuman.
Aku pun sempat tak yakin dapat mendidik Fanie sebaik-baiknya. Karena ada kalanya dia tantrum (mengamuk) karena tak mau mengikuti stimulasi yang kuberikan.

Terapi Wicara
Lulus play grup pada usia 3,5 tahun, aku dan suami berencana pindah ke Jakarta. Tujuan utamanya agar Fanie dapat menjalani terapi wicara. Kali ini aku ingin mengejar keterlambatannya dalam berbicara.
Di usia ini, aku melihat kemampuan berbicaranya masih kurang jelas. Misalnya untuk mengatakan ‘Papi, (aku mau) kencing’, Fanie hanya menyampaikan ‘Pi, cing’.
Fanie menjalani terapi wicara di RS. Harapan Kita. Sejak jam 05.00 Wib, aku sudah berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai mobil sendirian.
Terapi hanya setengah jam sementara perjalanan yang harus kutempuh sekitar 2 jam, kupikir tak sebanding dengan ilmu yang diperoleh Fanie. Aku pun bernegosiasi dengan instruktur agar dapat mengikuti terapi lebih banyak lagi.
Aku memang sedang berkejaran dengan usia emas anak. Kupikir sengaja datang jauh-jauh dari Surabaya, masak Cuma dapat setengah jam. Saking hampir setiap hari melakukan terapi, sampai-sampai aku dikira dokter oleh pengunjung lain. Hahahaha....
Usia 4 tahun Fanie masuk sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) Dian Grahita. Berdasarkan tes dia masuk kelas intervensi dini.
Tiap setengah tahun Fanie lompat kelas. Usia 8 tahun dia sudah duduk di kelas 5. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, guru di SLB menyarankan agar Fanie dimasukkan ke sekolah umum.
Antara bangga dan khawatir berkecamuk dipikiranku. Bangga karena putri sulungku dapat mengecap pendidikan di sekolah umum. Tapi dari sisi yang lain, ada kekhawatiran apakah Fanie siap dengan resiko dikucilkan oleh lingkungannya.
Kupersiapkan agar mental Fanie kuat menghadapi segala bentuk olok-olokan yang setiap saat bisa diterimanya. Kukatakan padanya agar tak mudah marah dan tetap berlaku sopan dengan keadaan yang tidak menguntungkan.
Pernah suatu kali, salah satu orang tua murid menyebarkan fitnah bahwa down sindrom yang disandang Fanie merupakan penyakit menular. Berita ini menyebar ke seantero sekolah. Sebagian percaya dan mengucilkan Fanie.
Kudatangi ke rumah orang tua penyebar fitnah itu. Bukan bermaksud untuk melabraknya, tapi bicara dari hati ke hati. Kukatakan bahwa tak ada satupun orang tua di dunia mengharapkan mendapat anak yang tidak normal. Down sindrom bukan penyakit menular. Down sindrom yang dialami Fanie bukan pula keturunan. Selain itu, Fanie juga tidak pernah menganggu teman-teman di sekolahnya. Dia juga tak pernah minta diistimewakan.
Mendengar hal itu, dia menangis dan meminta maaf kepadaku. Setelah itu kondisi sekolah normal kembali.
Prestasi akademik Fanie terbilang lumayan. Untuk mata pelajaran eksakta (pelajaran berhitung) memang jeblok. Khusus pelajaran yang sifatnya menghafal, Fanie masih bisa mengikuti.

Semua Akan Indah Pada Waktunya
Aku punya agenda makan dan kegiatan Fanie. Anak down sindrom harus punya pola hidup teratur agar tak terserang penyakit leukimia dan jantung. Dua penyakit ini kerap menyertai kehidupan anak down sindrom.
Sejak kecil, Fanie sudah kustimulasi dengan berbagai macam kegiatan positif. Kursus mewarnai, berenang, bulutangkis, piano hingga menjadi anggota paduan suara di gereja.
Sebagai contoh, untuk olahraga renang, Fanie sudah menekuninya sejak usia 9 tahun. Belajar renang (gerakan horizontal) sangat bagus untuk anak down sindrom.
Di usia 12 tahun Fanie memperoleh juara 1 pada kejuaraan Porcada (…)
Karena melihat prestasinya yang gemilang itu, untuk menunjang kecepatannya aku perkenalkan Fanie pada olah raga badminton. Olahraga ini juga bisa menjadi terapi untuk anak-anak down sindrom yang punya kecenderungan lelet.
Khusus olah raga renang, Fanie sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kejuaraan Special Olympics World di Athena 2011 mendatang.
Sementara di bidang musik, Fanie tertarik pada alat musik piano. Awal ketertarikannya pada piano, karena melihat papinya bermain piano.
Prestasi Fanie di piano terbukti saat memainkan 22 lagu di acara peringatan hari Ibu 22 Desember 2009 kemarin. Prestasi ini dicatatkan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori pencipta rekor satu-satunya pemain piano dari kalangan anak down sindrom yang mampu bermain musik dalam banyak judul lagu.
Sejauh ini, Fanie senang dengan aktivitasnya. Tapi sebagai ibunya, aku tahu kapan Fanie harus beristirahat.
Anak down sindrom kalau terlampau capek, ditunjukkan dengan perubahan matanya (juling).
Satu hal lagi, anak down sindrom sering mengalami kesulitan saat pup (buang air besar). Aku mengajarinya bagaimana cara menjaga kebersihan.
Anak down sindrom harus dijaga penampilannya karena mereka mudah gemuk. Pola berbagi pun kuperkenalkan pada Fanie yang memiliki adik pada usia 2,8 tahun.
Dulu waktu menstimulasi Fanie, aku tak pernah berpikir bahwa nantinya dia akan melakukan pencapaian-pencapaian besar. Termasuk ketika dapat sekolah di sekolah umum, bagiku hanya sebuah bonus saja.
Pesanku untuk para ibu yang memiliki anak down sindrom, yang terpenting orang tua harus menerima dulu. Suami istri tak boleh saling menyalahkan.
Stimulasi harus dilakukan sejak dini agar anak-anak down sindrom tumbuh menjadi anak yang mandiri.
Sebab, ketika orang tuanya sudah tak ada (meninggal) merupakan kiamat bagi anak-anak down sindrom yang tak pernah mendapat sentuhan stimulasi.
Ibarat botol, tiap hari kalau diisi segelas air. Suatu hari pasti akan penuh juga. Selain itu jangan pernah membeda-bedakan anak down sindrom dengan saudara kandungnya. Pengalamanku selama ini, kudidik Fanie layaknya saudaranya yang normal.
Lakukan stimulasi terus menerus tanpa harus melihat hasilnya. Seperti lagunya Delon, ‘semuanya akan indah pada waktunya’.


Dewi S Muchtar- Tabloid Wanita Indonesia Edisi 1051