Kamis, 18 Februari 2010

Kisah Sejati


Maria Yustina
(Ibunda Anak Penyandang Down Sindrom)


‘Kudidik Stephanie Layaknya Anak Normal’

Mampu memainkan 22 lagu dengan piano, membawa Stephanie Handojo, 18 sebagai pencipta rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pada 22 Desember 2009 lalu. Sebuah prestasi yang membanggakan untuk seorang anak penyandang down sindrom.


Tak hanya itu, gadis berkulit putih itu, juga berprestasi di bidang olahraga renang. Kini, ia sedang berlatih keras untuk meraih kesempatan mengikuti kejuaraan renang di ajang Special Olympics World di Athena 2011 mendatang.
“Bulan Juni ini, Fanie akan mengikuti seleksi sebagai persyaratan ke Athena 2011,” kata Maria Yustina, 45, Ibunda Fanie.
Sebagai orang tua, Yustina-begitu dia akrab disapa-, bersyukur dengan kemajuan yang ditunjukkan Fanie.
Sejenak, matanya menerawang jauh ke depan. Ingatan Yustina terbang ke masa-masa sulit ketika proses ‘memanusiakan’ putri sulungnya itu dimulai.
Di kediamannya yang asri di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Yustina mengisahkan perjuangannya kepada Tabloid Wanita Indonesia.


Mandiri Sejak Kecil
Aku adalah seorang wanita beruntung karena dilahirkan dari keluarga berkecukupan. Lahir 45 tahun silam, masa kecil kulalui di Pasuruan, Jawa Timur, dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tua dan saudara kandungku. Aku merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara.
Sayang, di usia 7 tahun, ayah yang kucintai pergi menghadap tuhan-Nya. Sejak saat itu, aku dibesarkan ibu dan 9 orang kakakku.
Lulus sekolah menengah pertama, aku melanjutkan SMA, perguruan tinggi hingga akhirnya berumah tangga di kota metropolitan Surabaya, Jawa Timur.
Meski jauh dari keluarga, bukan berarti aku hidup bebas semaunya. Selama 24 jam penuh, mereka tetap memantau segala aktivitas yang kujalani.
Hal ini tak membuatku terkungkung, justru kuambil saja sisi positifnya. Yang pasti mereka tak ingin melihatku hidup susah di kemudian hari.

Bertemu Jodoh Lewat Mimpi
Usai menamatkan kuliah di fakultas ekonomi, Universitas Surabaya (Ubaya), aku dipersunting seorang pria yang empat tahun lebih tua dariku.
Santoso Handojo, begitu nama lengkapnya. Ia merupakan teman salah satu kakakku sekaligus kakak seniorku di kampus. Bahkan ia menjadi panitia waktu acara orientasi mahasiswa baru pada angkatanku.
Uniknya, jauh sebelum dipersatukan Tuhan dalam sebuah pernikahan, aku sudah mengetahui bahwa pria ganteng lagi pintar itu adalah sosok yang akan menjadi jodohku kelak.
Suatu hari aku bermimpi melihat figura bergambar dirinya. Lantas, sebuah suara mengatakan pria di dalam figura itu adalah jodohku.
Alangkah kagetnya aku ketika melihat dari dekat, ternyata pria di dalam figura itu adalah kakak kelasku sendiri.
Sebagai orang beriman, aku tidak mempercayai begitu saja. Aku juga tak mengambil inisiatif terlalu jauh agar mimpi tersebut terealisasi.
Setahun, dua tahun bahkan tiga tahun tanda-tanda akan berjodoh dengannya tak terlihat. Yang kuketahui dari kakakku, selesai kuliah pria itu langsung bekerja di luar kota Surabaya. Aku pun memutuskan untuk melupakan saja mimpi itu.
Tapi, tak lama setelah itu Tuhan justru mempertemukanku kembali dengannya. Akhir Desember 1989, secara tak sengaja kami bertemu di sebuah supermarket. Sejak saat itu, sepertinya Tuhan benar-benar ingin menunjukkan sekaligus menyakinkanku bahwa dialah jodohku.
Singkat cerita, Januari 1991, aku resmi menjadi Nyonya Santoso Handojo. Kebahagiaan kami semakin lengkap, ketika April di tahun yang sama aku mengetahui diriku hamil.
Hari-hari sebagai calon ibu kulalui sambil bekerja sebagai analis kredit di sebuah bank swasta di Surabaya.
Namun karena sempat mengalami pendarahan hebat, dokter menyarankan untuk istirahat total. Akhirnya aku memilih berhenti bekerja.

Janinku Hilang Mendadak
Setiap kali memeriksakan kandungan, aku ditemani Mamiku. Suatu kali, usai mengalami pendarahan aku kembali memeriksakan kandungan pada dokter yang kupilih (dia seorang dokter spesialis kandungan sekaligus spesialis genetika). Pernyataan sang dokter yang mengatakan bahwa janin di rahimku sudah tak ada, cukup mengagetkan kami.
‘Tapi anehnya detak jantung janin masih terdeteksi,’ kata dokter sambil mengeryitkan dahinya.
Akhirnya dia menyuruhku datang lagi minggu depan untuk dilakukan tindakan kuretase. Hari itu, aku dan Mami kembali dengan perasaan sedih.
Di hari yang telah ditentukan, sebelum dokter mengambil tindakan tersebut, Mami melakukan bargaining dengan dokter. Ternyata Mami berpegang pada ucapan dokter yang mengatakan bahwa masih ada detak jantung yang terdeteksi.
“Dokter, saya mohon dilakukan USG sekali lagi untuk memastikan bahwa janin bakal cucuku memang sudah ngga ada. Bukannya saya tidak percaya pada dokter,” harap Mami dengan suara lirih. Kemudian kami saling berpandang-pandangan.
Melihat wajah Mami yang penuh harap, dokter tak kuasa menolaknya. Untuk kesekian kali dokter memutar-mutarkan alat USG pada perutku, mencari apakah ada tanda-tanda kehidupan di perutku yang mulai membuncit.
Karena tak dapat melihat secara langsung monitor pada USG, aku berusaha mencari tahu jawabannya dari mimik wajah sang dokter.
Rasanya saat itu aku lebih percaya dengan bahasa tubuhnya ketimbang mendengar langsung kalimat yang akan disampaikan dokter itu.
Dari wajah yang terlihat serius, 2 menit kemudian seukir senyum keluar dari balik bibirnya.
‘Perkiraan Ibu benar. Ternyata janin bakal cucu Ibu sudah saya temukan. Minggu lalu nyelip kemana dia ya? Kok mendadak tidak bisa dideteksi dengan USG?. Coba lihat, janinnya kasih lihat wajah dan tangannya pada Mama dan Omanya,’ ujar sang dokter mengagetkan kami berdua.
“Puji Tuhan. Terima kasih, Dokter sudah menemukan cucuku yang hilang,” ucap Mami. Setitik air bening mengalir pelan dari ujung kedua matanya.
Aku pun tak lupa bersyukur dengan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepadaku.
Tuhan, untung aku tak ceroboh dalam mengambil keputusan. Jika, bukan karena Mami mungkin aku sudah menghilangkan buah cintaku sendiri.
Di akhir pertemuan, dokter memberikan obat penguat guna memperlancar kehamilanku selanjutnya.

Dari Ada Dan Tiada, Semuanya Karena Tuhan
Dari bulan ke bulan, semuanya berjalan lancar. Di usia menjelang 9 bulan, aku melahirkan seorang bayi perempuan.
Proses persalinan bayi pertamaku berjalan lancar. Namun, yang membuatku sedikit curiga, begitu bayiku keluar dokter dan suster bisik-bisik di belakangku.
Dengan refleks, aku bertanya,” Kenapa Dok, bayiku sehat kan? Lengkap nggak semuanya?.”
‘Oh nggak apa-apa. Bayi Ibu lengkap semua kok. Ibu tenang saja dulu ya,’ kata-kata dokter berusaha menghentikan kekhawatiranku.
Sebelum dibawa ke ruang perawatan bayi, aku sempat mencium wajah putri cantikku yang diberi nama Stephanie Handojo.
Sesuai ucapan dokter, anggota tubuh Stephanie tak ada yang kurang atau cacat.
“Terima kasih Tuhan,” kataku dalam hati.
Tapi, ada satu hal yang mengganjal perasaanku. Ketika keluar dari rahimku, suara tangisan Fanie sama sekali tak terdengar.
Lamunanku pecah ketika suamiku mendekat. Dia mencium keningku.
“Selamat ya sayang. Mulai saat ini kita akan merawat Stephanie bersama-sama. Tapi tadi dokter mengatakan nantinya perkembangan Stephanie akan lambat. Karena dia lahir down sindrom,” kata suamiku dengan sangat hati-hati.
Jujur, saat itu aku sama sekali tak tahu apa itu down sindrom. Makanya ketika suamiku mengutarakan hal itu, tanggapanku biasa saja.
“Oh ya sudah, kalau Cuma lambat saja.. Nanti kalau sudah gede juga normal lagi kan,” jawabku datar.
“Kata dokter lagi, merawat anak down sindrom dibutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Aku percaya kamu bisa melakukan itu. Kita berdua akan saling support ya,” ujar suamiku lagi.
Aku merasakan shock ketika suamiku menekankan kata-kata itu. Kesedihan yang mendalam sempat menggelayuti perasaanku. Terlebih Stephanie merupakan anak pertama kami.
Meski sedih, aku dan suami tak pernah memprotes Tuhan. Kami sadar bahwa ini merupakan jalan dari-Nya.
Aku langsung teringat, dari proses mengenal suami, menjalani masa kehamilan yang sempat kehilangan janin adalah campur tangan Tuhan.
Itu berarti Tuhan sedang menguji keimananku. Aku percaya semua yang datang dari tuhan, akan menemukan jalan keluarnya.
Seperti yang kusepakati dengan suami, kami harus segera mencari jalan keluar untuk Fanie. Kami mencari tahu penangganan yang tepat pada anak down sindrom.
Untunglah, paman suamiku memiliki kenalan seorang dokter yang memiliki pengalaman sebagai orang tua anak down sindrom. Namun sayangnya, di usia 16 tahun anak tersebut meninggal dunia.
Ketika kami menemuinya, dokter itu meminjamkanku banyak buku yang membuka cakrawala tentang apa itu down sindrom.
Kesimpulan dari yang kubaca, Stephanie harus mendapat penangganan selama 24 jam penuh.

Tes Genetik
Meski aku dan suami telah mengikhlaskan kenyataan ini, dokter yang menanggani persalinanku menyarankan kami untuk melakukan tes genetik. Hal ini dilakukan untuk menjawab teka-teki penyebab down sindrom yang dialami buah hati kami dan tidak terjadi saling menyalahkan satu sama lain dalam keluarga besar.
Setidaknya hasil tes melegakan semua pihak karena diketahui penyebab down sindrom pada Stephanie bukan karena faktor genetik melainkan akibat pertemuan sel telur dan sperma yang kurang bagus.
Pada rapat keluarga pun, semuanya bersikap tak menyalahkan satu sama lain. Orangtua kami meminta kami untuk kompak dalam membesarkan dan memberikan kehidupan yang terbaik bagi Stephanie.
Mendapatkan dukungan yang sangat besar ini, aku dan suami tentu saja bersuka cita tapi sekaligus sedih.
Sedih, karena kurangnya informasi tentang down sindrom membuat keluarga besar kami tidak terlalu mengkhawatirkan perkembangan Stephanie. Bahkan aku merasa mereka terkesan memandang enteng terhadap masalah down sindrom.
Dengan tekad bulat, aku melakukan terapi sendiri Stephanie. Hal ini kulakukan setelah memperoleh jawaban yang kurang maksimal dari beberapa dokter. Mereka mengatakan bahwa perkembangan Stephanie hanya akan begini-begini saja atau dengan kata lain ‘jalan di tempat’. Karena mendapat jawaban yang sama, sampai-sampai aku tak mempercayai dokter.
Agar tak terlambat, aku membuat sendiri program untuk menstimulasi Stephanie.
Untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan yang dicapai, aku pun membuat tabel perkembangan untuk Fanie. Tabel itu sama persis dengan tabel untuk anak normal.
Step by step, stimulasi yang kuberikan pada Fanie. Aku memang bertekad mengejar keterlambatan Fanie. Sebulan, dua bulan, perkembangan yang ditunjukkan Fanie masih dibawah harapanku.
Di usia 7 bulan dia sudah bisa tengkurap dan duduk tapi tidak semaksimal anak normal.
Fanie juga kuajarkan tertawa, tapi yang dia bisa lakukan hanya mesem saja. Sampai usia 8 bulan Fanie belum dapat tertawa lepas seperti bayi lain.
Berbagai alat peraga kuhadirkan untuk menstimulasinya. Kerincingan untuk menguatkan otot matanya. Fanie tidak langsung bisa melihat arah suara. Hanya menoleh sebentar, kemudian dia menunduk lagi. Gerakan lehernya sangat pelan. Aku menstimulasi terus menerus hingga akhirnya Fanie dapat menaikkan leher sendiri (tanpa bantuan) saat usia 10 bulan.
Aku tak malu memiliki anak down sindrom. Meski kerap mendengar beberapa tetangga yang mempunyai anak seusia Fanie, sering membangga-banggakan kepintaran anak mereka di depanku. Aku berusaha untuk tidak sakit hati.
Semakin kudekap Fanie dengan cinta. Aku yakin bahwa suatu saat putri cantikku itu dapat berinteraksi dengan banyak orang tanpa rasa malu dengan keterbatasannya.
Kehadiran Fanie, benar-benar kutunjukkan pada dunia. Aku ingin Fanie tidak canggung bertemu dengan orang. Kemana pun pergi dia selalu kubawa serta, termasuk jalan-jalan di mal.

Sempat Ditolak Masuk Sekolah
Senangnya hatiku, melihat Fanie dapat melangkahkan kaki mungilnya tanpa harus berpegangan. Di usia tersebut dia juga sudah bisa makan sendiri.
Waktu belajar menyendok, Fanie kuajari runtutan gerak. Awalnya Fanie hanya mampu menaikkan sendok sampai ke dada, aku membantunya menaikkan sampai ke dagu.
Aku juga punya trik, kalau makanan lebih banyak dibuang. Aku punya cadangan makanan yang tetap harus masuk ke perutnya.
Lulus belajar menyendok, pelajaran meningkat ke terapi menggengam lilin, meremas dan menyobek-nyobek kertas.
Usia 20 bulan, aku mulai terpikir untuk menyekolahkan Fanie. Pertimbanganku karena dia sudah dapat berjalan, makan sendiri dan membersihkan sisa makanan yang menempel di mulutnya. Bahkan tisue bekas yang dipakainya dapat dibuangnya ke tempat sampah.
Tapi keinginan tersebut sempat terganjal karena tak ada sekolah yang mau menerimanya.
Untuk kebaikan Fanie, sesuai janjiku bersama suami segala upaya terus dilakukan. Akhirnya tuhan mempertemukanku dengan pemilik Sekolah Diana. Meski awalnya ragu menerima anak dengan kebutuhan khusus, Ibu Diana berjanji akan merapatkan dulu dengan anggota yayasan sekolah Diana.
Walau belum sepenuhnya mendapat jawaban, aku senang dengan cara Ibu Diana memberikan solusi untuk Fanie.
Dari sejak lama, aku memang sudah berkeinginan menyekolahkan Fanie di sana karena siswa diajarkan dengan bilingual.
Ketika Ibu Diana memberi jawaban, kupikir dia hanya memberi waktu 1-2 minggu untuk Fanie. Ternyata Fanie boleh belajar selama 2 tahun di Sekolah Diana.
Di sana, Fanie mendapat perlakuan sama dengan teman-temannya yang normal. Bedanya hanya saja Fanie diberi guru pendamping yang berfungsi sebagai pengganti orang tua. Dua tahun belajar di play grup, banyak kemajuan yang ditunjukkan Fanie.
Di samping itu, aku tetap menstimulasi Fanie di rumah. Dalam mengajarinya aku mempersiapkan media. Misalnya, saat memperkenalkan aneka rasa, aku langsung perkenalkan pada makanan dengan aneka rasa pula.
Ketika aku sedang keluar rumah, pekerjaan ini kudelegasikan pada pembantu di rumah. Ada 2 buku, yakni buku petunjuk dan buku realisasi. Misal; dalam buku petunjuk, ambil buku tentang alam semesta. Apapun progresnya pembantuku harus menulisnya pada buku realisasi. Kalau Fanie sedang tak mau belajar, pembantu kuminta untuk tidak memaksa.
Setiap keberhasilan yang ditunjukkan Fanie, aku memberikan penghargaan dalam bentuk pelukan dan ciuman.
Aku pun sempat tak yakin dapat mendidik Fanie sebaik-baiknya. Karena ada kalanya dia tantrum (mengamuk) karena tak mau mengikuti stimulasi yang kuberikan.

Terapi Wicara
Lulus play grup pada usia 3,5 tahun, aku dan suami berencana pindah ke Jakarta. Tujuan utamanya agar Fanie dapat menjalani terapi wicara. Kali ini aku ingin mengejar keterlambatannya dalam berbicara.
Di usia ini, aku melihat kemampuan berbicaranya masih kurang jelas. Misalnya untuk mengatakan ‘Papi, (aku mau) kencing’, Fanie hanya menyampaikan ‘Pi, cing’.
Fanie menjalani terapi wicara di RS. Harapan Kita. Sejak jam 05.00 Wib, aku sudah berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai mobil sendirian.
Terapi hanya setengah jam sementara perjalanan yang harus kutempuh sekitar 2 jam, kupikir tak sebanding dengan ilmu yang diperoleh Fanie. Aku pun bernegosiasi dengan instruktur agar dapat mengikuti terapi lebih banyak lagi.
Aku memang sedang berkejaran dengan usia emas anak. Kupikir sengaja datang jauh-jauh dari Surabaya, masak Cuma dapat setengah jam. Saking hampir setiap hari melakukan terapi, sampai-sampai aku dikira dokter oleh pengunjung lain. Hahahaha....
Usia 4 tahun Fanie masuk sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) Dian Grahita. Berdasarkan tes dia masuk kelas intervensi dini.
Tiap setengah tahun Fanie lompat kelas. Usia 8 tahun dia sudah duduk di kelas 5. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, guru di SLB menyarankan agar Fanie dimasukkan ke sekolah umum.
Antara bangga dan khawatir berkecamuk dipikiranku. Bangga karena putri sulungku dapat mengecap pendidikan di sekolah umum. Tapi dari sisi yang lain, ada kekhawatiran apakah Fanie siap dengan resiko dikucilkan oleh lingkungannya.
Kupersiapkan agar mental Fanie kuat menghadapi segala bentuk olok-olokan yang setiap saat bisa diterimanya. Kukatakan padanya agar tak mudah marah dan tetap berlaku sopan dengan keadaan yang tidak menguntungkan.
Pernah suatu kali, salah satu orang tua murid menyebarkan fitnah bahwa down sindrom yang disandang Fanie merupakan penyakit menular. Berita ini menyebar ke seantero sekolah. Sebagian percaya dan mengucilkan Fanie.
Kudatangi ke rumah orang tua penyebar fitnah itu. Bukan bermaksud untuk melabraknya, tapi bicara dari hati ke hati. Kukatakan bahwa tak ada satupun orang tua di dunia mengharapkan mendapat anak yang tidak normal. Down sindrom bukan penyakit menular. Down sindrom yang dialami Fanie bukan pula keturunan. Selain itu, Fanie juga tidak pernah menganggu teman-teman di sekolahnya. Dia juga tak pernah minta diistimewakan.
Mendengar hal itu, dia menangis dan meminta maaf kepadaku. Setelah itu kondisi sekolah normal kembali.
Prestasi akademik Fanie terbilang lumayan. Untuk mata pelajaran eksakta (pelajaran berhitung) memang jeblok. Khusus pelajaran yang sifatnya menghafal, Fanie masih bisa mengikuti.

Semua Akan Indah Pada Waktunya
Aku punya agenda makan dan kegiatan Fanie. Anak down sindrom harus punya pola hidup teratur agar tak terserang penyakit leukimia dan jantung. Dua penyakit ini kerap menyertai kehidupan anak down sindrom.
Sejak kecil, Fanie sudah kustimulasi dengan berbagai macam kegiatan positif. Kursus mewarnai, berenang, bulutangkis, piano hingga menjadi anggota paduan suara di gereja.
Sebagai contoh, untuk olahraga renang, Fanie sudah menekuninya sejak usia 9 tahun. Belajar renang (gerakan horizontal) sangat bagus untuk anak down sindrom.
Di usia 12 tahun Fanie memperoleh juara 1 pada kejuaraan Porcada (…)
Karena melihat prestasinya yang gemilang itu, untuk menunjang kecepatannya aku perkenalkan Fanie pada olah raga badminton. Olahraga ini juga bisa menjadi terapi untuk anak-anak down sindrom yang punya kecenderungan lelet.
Khusus olah raga renang, Fanie sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kejuaraan Special Olympics World di Athena 2011 mendatang.
Sementara di bidang musik, Fanie tertarik pada alat musik piano. Awal ketertarikannya pada piano, karena melihat papinya bermain piano.
Prestasi Fanie di piano terbukti saat memainkan 22 lagu di acara peringatan hari Ibu 22 Desember 2009 kemarin. Prestasi ini dicatatkan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori pencipta rekor satu-satunya pemain piano dari kalangan anak down sindrom yang mampu bermain musik dalam banyak judul lagu.
Sejauh ini, Fanie senang dengan aktivitasnya. Tapi sebagai ibunya, aku tahu kapan Fanie harus beristirahat.
Anak down sindrom kalau terlampau capek, ditunjukkan dengan perubahan matanya (juling).
Satu hal lagi, anak down sindrom sering mengalami kesulitan saat pup (buang air besar). Aku mengajarinya bagaimana cara menjaga kebersihan.
Anak down sindrom harus dijaga penampilannya karena mereka mudah gemuk. Pola berbagi pun kuperkenalkan pada Fanie yang memiliki adik pada usia 2,8 tahun.
Dulu waktu menstimulasi Fanie, aku tak pernah berpikir bahwa nantinya dia akan melakukan pencapaian-pencapaian besar. Termasuk ketika dapat sekolah di sekolah umum, bagiku hanya sebuah bonus saja.
Pesanku untuk para ibu yang memiliki anak down sindrom, yang terpenting orang tua harus menerima dulu. Suami istri tak boleh saling menyalahkan.
Stimulasi harus dilakukan sejak dini agar anak-anak down sindrom tumbuh menjadi anak yang mandiri.
Sebab, ketika orang tuanya sudah tak ada (meninggal) merupakan kiamat bagi anak-anak down sindrom yang tak pernah mendapat sentuhan stimulasi.
Ibarat botol, tiap hari kalau diisi segelas air. Suatu hari pasti akan penuh juga. Selain itu jangan pernah membeda-bedakan anak down sindrom dengan saudara kandungnya. Pengalamanku selama ini, kudidik Fanie layaknya saudaranya yang normal.
Lakukan stimulasi terus menerus tanpa harus melihat hasilnya. Seperti lagunya Delon, ‘semuanya akan indah pada waktunya’.


Dewi S Muchtar- Tabloid Wanita Indonesia Edisi 1051

Tidak ada komentar:

Posting Komentar