Senin, 01 Maret 2010

Kisah Sejati





Sumirah
“Arifahku Lahir Tanpa Bola Mata’




Hidup tanpa bola mata dan lumpuh, dilalui Arifah, 13, di sebuah perkampungan nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara. Penderitaan gadis cacat ini seolah lengkap, tatkala seorang lelaki pemabuk merenggut kegadisannya.



Ketika anak seusianya asyik menikmati status sebagai pelajar, Arifah, hanya bisa termangu diam di rumah kontrakan berukuran 3x3 m. Sehari-hari gadis kecil itu melakukan aktivitas berjalan dengan bantuan pantatnya, mengesot. Jika bosan menyergap, Arifah menyusuri tiap sudut rumah petak yang terletak di Blok Empang Gang Satu tersebut. Sumirah, 41, ibunda Arifah berusaha menjauhkan benda-benda yang membahayakan keselamatannya.
“Gelas, piring dan kabel listrik sedapat mungkin harus dijauhkan dari Arifah. Soalnya kalau sudah ngesot (beringsut) kemana-mana, tangannya nggak bisa diam. Saya khawatir kalau saya nggak ada di rumah, nanti dia celaka,” ungkap Sumirah.
Beruntung, sejak Jumat 19/2 lalu, Arifah memperoleh sebuah kursi roda, dari Yayasan Maria Monique yang peduli terhadap nasib anak-anak lumpuh dari keluarga tak mampu. Penyerahan kursi roda untuk Arifah dan belasan anak lumpuh lainnya berjalan dalam suasana penuh secara khusus mendandaninya dengan pakaian Princess seperti tokoh boneka Barbie.
Di tengah hiruk pikuk tepuk tangan anak-anak nelayan yang tengah meluapkan kebahagiaan di atas panggung, Sumirah menatap dari kejauhan Arifah terlihat cantik. Ia tak dapat membendung air mata bahagianya. Kepada Tabloid Wanita Indonesia, wanita yang sudah tiga kali menikah ini mengisahkan perjalanan hidupnya.

Tusukan Mata Cumi-Cumi
Arifah anak kelima dari pernikahan keduaku dengan Fendi, 45. Ketika kami menikah, usiaku menginjak 19 tahun dengan status janda tanpa anak. Pada 15 September 1997, lahir putri bungsuku ini. Kulitnya putih dengan rambut yang begitu tebal.
Ketika bidan mendekatkan bayiku ke tempatku berbaring, perasaan bahagia yang awalnya merasuki hatiku seketika lenyap. Kudapati Arifah dalam kondisi mata tertutup, seperti bayi yang sedang tidur. Tak hanya itu, kedua kakinya lebih kecil dibanding bayi normal.
“Bu, sepertinya mata bayi ibu ada kelainan. Untuk memastikannya, nanti saya rujuk ke rumah sakit besar ya,” ucapan bidan yang membantu persalinanku membuatku terkesiap.
Orang tuaku yang sengaja datang dari Cilacap, kampung asalku, sempat menanyakan tentang kebiasaanku selama proses mengandung Arifah. Kukatakan semua aktivitas kulalui tanpa melakukan hal-hal yang tabu.
Lantas, ibuku bertanya apakah suamiku pernah membunuh binatang saat kehamilanku. Saat hal ini kutanyakan, suamiku mengaku pernah menusuk mata cumi-cumi. Aku pun ingat ketika usia kehamilan 3 hingga 9 bulan, aku sering mengalami sakit di bagian perut. Tapi ketika aku konsultasikan hal ini pada bidan, katanya tak masalah. Meski begitu, ibuku berusaha membesarkan hatiku yang kadung hancur.
“Dulu sebelum 40 hari mata bayi selalu tertutup. Mungkin anakmu ini seperti bayi jaman dulu. Kita tunggu saja ya,” ibuku berusaha menghibur.
Namun hingga 40 hari berlalu Arifah tak kunjung membuka kelopak matanya. Sepasang mata gadis kecilku itu terus saja mengatup.
Karena tak memiliki cukup uang, aku baru memeriksakan kondisi Arifah saat usianya menjelang 4 bulan. Dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengatakan dengan bantuan donor mata Arifah sebenarnya dapat melihat lagi.
Tapi, kata dokter biayanya sangat besar sekali untuk dapat menjalani rangkaian operasi pemasangan bola mata. Sejak saat itu hingga sekarang, aku tak pernah lagi memeriksakan kondisi kesehatan mata Arifah.
Kepedihanku melihat kondisi Arifah, kian menjadi-jadi tatkala dalam pertumbuhannya Arifah kian berbeda dari bayi normal lainnya. Saat usia yang semestinya seorang bayi belajar berjalan, Arifah tak kunjung melewati fase itu. Jangankan berjalan, merangkak pun tak dilakukannya. Semakin bertambah usianya, Arifahku tak kunjung menunjukkan kepintaran seperti anak-anak kebanyakan.

Dinodai Pemuda Mabuk
Saat kecil Arifah lebih senang telanjang, tanpa busana. Aku harus bolak-balik memakaikan baju untuknya. Namun setiap kali pula Arifah melepasnya kembali. Untunglah, saat ini Arifah mau memakai baju. Apalagi kalau diiming-imingi pergi jalan-jalan, dia bersemangat memakai baju. Tapi, lagi-lagi, begitu sampai di rumah, Arifah hanya menyisakan celana dalam di tubuhnya.
Setahun lalu, entah karena perilaku ini, Arifah sempat mengalami peristiwa mengenaskan. Dia diperkosa seorang pemuda kampung yang sedang mabuk.
Kala itu, Arifah kutinggal berjualan dengan dalam kondisi pintu terkunci. Entah setan apa yang merasukinya, pemuda mabuk itu membongkar kunci rumah hingga lepas. Mendapati Arifah sedang tidur tanpa memakai busana dan hanya bercelana dalam, pemuda bejat itu merusak kegadisan buah hatiku.
Arifah mengalami pendarahan hebat. Aku masih bersyukur kelakuan pemuda tersebut segera ketahuan warga dan langsung dibawa ke kantor polisi. Karena kesalahannya dia dihukum selama 15 tahun penjara. Usai peristiwa tersebut, Arifah tampak syok dan trauma setiap mendengar suara laki-laki yang berbicara di dekatnya.
Maafkan Ibu, nak. Semua ini karena Ibu tak dapat menjagamu dari tangan-tangan jahat. Sekali lagi maafkan Ibu...kalimat ini aku bisikkan ke telinga putriku.
Kini, aku pun tak mau lama-lama meninggalkan Arifah sendirian di rumah kontrakan. Namun, sebagai ibu yang menghidupi anak tanpa suami karena aku sudah bercerai dari suamiku sekitar 2 tahun lalu, aku harus lebih giat mencari nafkah.
Jam 8 malam hingga 5 pagi, Arifah kutinggal berjualan. Sepanjang malam hingga terbit matahari, aku berkeliling menawarkan secangkir kopi, susu hingga mie rebus dalam gelas.
Uang yang kudapat tak lebih dari Rp. 50.000/ malam. Alhamdulillah, cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari itu pun masih harus menyisihkan untuk kontrak rumah sebesar Rp. 250.000/bulan. Rumah yang kami tempati sekarang terbilang lebih baik dengan fasilitas lantai keramik. Setidaknya kondisi ini membuat nyaman bagi Arifah daripada tinggal di rumah panggung beralaskan lantai kayu.
Bahkan kalau aku punya sedikit modal, aku ingin membuka warung nasi saja. Profesi penjual kopi aku tinggalkan agar Arifah senantiasa dalam pengawasanku.

Bertemu Tamara dan Mike Lewis
Kendati keinginan ini belum terwujud hingga kini, tapi saat ini aku tengah berbahagia. Beberapa hari lalu, Arifah mendapat hadiah sebuah kursi roda dari artis terkenal Tamara Bleszynski dan Mike Lewis yang dititipkan lewat Yayasan Maria Monique.
Aku tak pernah bermimpi bakal mendapat anugerah sebesar ini. Tak pernah terbayangkan olehku suatu ketika Arifah mendapat bantuan kursi roda. Tapi, itulah kebesaran Allah SWT, dikirimkan-Nya seseorang yang bersimpati pada anakku.
Bahkan saat menerima kursi roda, Yayasan Maria Monique memberi kesempatan pada Arifah memberikan rangkaian bunga sebagai ungkapan terima kasih kepada Tamara dan Mike. Gara-gara itu pula, aku dan Arifah dapat menginjakkan kaki ke sebuah hotel mewah.
“Kita lagi dimana Bu? Hawa di sini sejuk ya. Arifah senang disini,” kata Arifah berbisik ke telingaku. Arifah senang di sini? Kita lagi diajak ke hotel. Sebentar lagi Arifah akan ketemu Tamara dan Mike. Kamu pasti senang ketemu artis ya?’ aku menjawab Arifah.
Arifah tampak senang ketika tangannya digenggam penuh kelembutan oleh Tamara dan Mike.
Terima kasih Tuhan atas nikmat yang tak pernah henti-hentinya Kau turunkan buat Arifah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar