Senin, 28 Maret 2011

Cermin




Boki Ratu Nita
Kala Ditolak Sebagai Ibu Idola


Terjun berpolitik, ia pernah dicelotehi rakyatnya, dinilai sekadar jabatan aji mumpung sebagai istri Sultan Ternate. Salah satu putranya malah sempat protes dan menolaknya sebagai sosok Ibu yang diidolakan.
Boki Ratu Nita Budhi Susanti. SE, istri Sultan Ternate ke -48 Mudaffar Sjah. M.Si. Ia mengawali langkah politik melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah, kemudian melompat sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrat.

Tokoh Reformis dari Ternate

Boki mengaku ketertarikannya pada dunia politik setelah sering terlibat diskusi dengan suami. Sultan pula yang melihat sang istri memiliki talenta untuk berkontribusi di dunia politik praktis.
“Awalnya saya tidak menyukai dunia politik. Karena dalam politik itu ada sebuah ruang yang tidak sesuai dengan situasi kita sebagai tokoh adat. Ada rambu-rambu yang kadang-kadang tidak bisa direm, tak terkendali seperti bola liar. Ada ruang yang tidak pas buat kita. Sebagai tokoh adat seharusnya berada di tengah-tengah sebagai pengayom, sementara bicara politik itu pasti terjadi pengkotak-kotakan,” ujar Boki di ruang kerjanya lantai 22, gedung DPR-RI, Jakarta.
Ia lalu bertanya kepada Sultan, kenapa harus berpolitik?
“Sultan menjelaskan, justru kita harus berpolitik. Kalau kita tidak berpolitik hak-hak kita akan semakin dipinggirkan. Sedangkan kita ini penjaga tatanan dari masyarakat adat,” ungkap Boki.
Beragam komentar ia dengar ketika mulai berpolitik.
“ Pernah dalam sebuah diskusi dengan civitas akademi, terutama mahasiswa mengecam saya. Mereka tidak terbiasa melihat seorang permaisuri itu berpolitik. Selama ini kan masyarakat sudah terbiasa dengan sesuatu yang normatif ,di mana mungkin pendahulu saya tidak pernah berbuat seperti saya. Ketika saya memilih jalan ini, mungkin menjadi sesuatu yang aneh. Begitu saya terjun ke politik dan berhasil mendapat dukungan, sempat ada yang bilang begini; ‘Kalau Anda bukan istri Sultan, nggak mungkin akan terpilih’. Mereka sangat to the point,” ceritanya.
Boki tidak menanggapi dengan emosi. Penasihat Muslimat NU provinsi Maluku Utara ini mengajak mereka berpikir objektif.
“Saya bilang ,’Justru pertanyaan saya balikkan lagi pada saudara. Kenapa saya sebagai seorang wanita pendatang di daerah ini memiliki niat yang baik untuk membangun daerah Anda. Di mana kalian? Kenapa tidak ingin maju seperti saya? Di mana ruang politik di Indonesia ini membebaskan semua orang untuk maju menjadi apa saja. Terutama di dalam kedudukan politik. Kenapa tidak maju, tidak mau? Saya ajak mereka berpikir secara objektif. Saya bilang sekali pun saya suami raja, kalau saya tidak memiliki kemauan, apa bisa. Dan saya tidak memiliki kemampuan, apa bisa terpilih? “tutur Boki yang blasteran Belanda-Perancis-Jawa ini.
Ia pun dianggap sebagai tokoh reformis perempuan yang berpolitik di Maluku Utara dan tingkat nasional.

Kala Anak Tak Mengidolakan Ibunya

Menjalankan banyak peran dalam hidupnya, Boki berusaha membenahi manajemen waktu agar semuanya berjalan secara seimbang.
“Agak complicated memang. Karena ini menyangkut manajemen berbasis kinerja. Jadi manajemen saya atur sedemikian rupa, kapan tugas saya sebagai anggota DPR di komisi XI, mengikuti rapat-rapat dan ketika saya menjadi tokoh daerah. Kemudian bagaimana membagi waktu dengan anak-anak dan suami. Kadang anak- anak sengaja saya ajak ke kantor. Mereka belajar di ruangan saya. Jika ada rapat di hotel, mereka ikut menginap bersama saya. Tujuannya supaya mereka bisa melihat tugas Ibunya itu seperti apa,” tutur Boki.
Ibunda Nesya Fitri Hanindya,19, Nadia Tsabitah,17, Hafis Ayyashi,15, Nabila Purboningsih Mudaffar Sjah,10, dan Azka Nukila Purboningrum Mudaffar,9, ini suatu ketika pernah mendapat protes dari salah satu anaknya, karena dinilai tidak membeirkan waktu yang banyak bersama mereka.
Boki pun menanggapinya sebagai sesuatu yang manusiawi. Ketika seorang anak merasa kurang mendapat perhatian ibunya. Namun tak hanya sampai di situ, protes berikutnya datang dari putra ketiga. Dengan tegas Hafiz mengatakan tidak mengidolakan Ibunya. Kalimat ini langsung menohok bagian terdalam hati Boki.
”Saya terkaget-kaget, lalu saya tanya alasannya. ‘Karena Mommy jarang di rumah dan tidak seperti ibu-ibu lain yang hanya arisan, masak di rumah’. Saya pikir inilah bahasa polos anak-anak. Artinya menjadi tidak sederhana. Prinsip saya kan paling tidak harus balance intern dan ekstern Masalahnya, banyak kaum wanita yang memiliki kegiatan di luar sering melupakan itu,” ujar Boki.
Boki kemudian berbicara dari hati ke hati dengan putranya itu. Ia pun menjelaskan bahwa dari jutaan wanita di Indonesia tidak semua mendapat kesempatan menjadi wakil rakyat di DPR.
“Menjadi seorang Ibu rumah tangga merupakan ibadah. Tapi itu komunitasnya lebih kecil, hanya untuk anak dan suami. Saya katakan ‘Kamu harusnya berbangga. Bahwa ini suatu jalan yang dipilih oleh Allah dan harus disyukuri sebagai sebuah rahmat yang tak terhingga. Bahwa Mama terpilih untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan orang banyak. Kamu nggak usah takut kehilangan Mama karena kini rakyat pun jadi anak Mama juga. Jabatan itu amanah, Mas. Akhirnya kami sering diskusi. Soal negara dan banyak hal. Alhamdulillah, sekarang justru mendukung saya,” kata Boki, tersenyum.
Binar bangga terpancar dari wajah wanita cantik ini tatkala membicarakan karakter putra-putrinya.
“Putri pertama saya kuliah di UI Internasional, dia mengambil double degree. Putri yang kedua, duduk di bangku SMA High Scope, yang nomor 4 dan 5 masih duduk di bangku SD. Si Kakak, pola pikirnya bule banget dan lebih cepat memahami. Tapi dia sangat care pada saya, yang nomor 5 juga begitu. Kalau saya terlihat sibuk sekali, mereka tanya, ‘Sudah makan belum, Mom? Lalu yang nomor 4, sudah seperti sekretaris saja. Dia selalu melihat teve dan kemudian memberikan report. ‘Mama ini ada kejadian bencana alam. Korban sekian jumlahnya. Waktu Situ Gintung pun dia mencatat data. Ketika lihat saya di teve, pulangnya berdiskusi lagi dengan mereka. ‘Kenapa Mama punya pemikiran demikian?’” tutur Boki.
Menerapkan keterbukaan dan memposisikan diri sebagai tema, kadang seperti seorang kakak, begitulah Boki pada buah hatinya. Bahkan ia masih sempat mendandani putrinya saat mau pergi ke pesta.
“Kemarin anak saya menang sebagai the best dress dari hasil rancangan dan make up saya,” cerita Boki, bangga.

Boks : Intuisi Seorang Sultan


Boki berkenalan dengan Sultan secara tidak sengaja ketika sama-sama sedang berada di salah satu gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
“Ketika itu saya sedang menunggu teman bisnis. Pak Sultan mengajak kenalan. Saya biasa-biasa saja waktu itu. Rupanya Sultan punya intuisi tersendiri ketika bertemu saya. Katanya waktu lihat saya, seperti ada cahaya putih di kening saya. Jadi di situlah mulai pendekatan,” kenang putri Solo kelahiran Semarang, 7 Juli 1968 ini.

Suami dan Ayah yang Baik

Dua tahun proses saling mengenal, barulah Boki menerima pinangan Sultan yang ketika itu berusia 63 tahun. Di mata Boki, Sultan, seorang suami dan ayah terbaik di dunia. Sosok yang penuh kelembutan. Setiap perbedaan pendapat, disikapi dengan elegan.
“Dalam rumah tangga kan tak pernah luput dari perbedaan. Namun di antara kami tidak pernah ada kata-kata keras atau kasar. Jika sedang ada ketidakcocokan kami lebih menunjukkannya dengan simbol-simbol dan gaya bahasa. Contohnya, saya tahu Sultan lagi marah ketika diajak bicara jawabannya pendek-pendek. Membuat saya berpikir,‘Oh ada yang salah nih’. Sultan itu kan senang tertawa, tapi kali ini kok nadanya menyindir. ‘Oh berarti harus ada yang diubah’,” tutur Boki.
Meski hidup dalam keraton beraroma feodal, Sultan memiliki pemikiran yang modern. Ia pernah mengenyam pendidikan di Australia sehingga turut mempengaruhi Boki dalam menerapkan sistem pendidikan pada kelima anaknya.
“Saya bersyukur Sultan itu sangat open minded, saya juga begitu. Kami membiarkan anak-anak berkembang sesuai karakter dan bakatnya. Otomatis cara pendekatan antara satu dengan yang lain berbeda. Anak saya yang pertama strik, fokus dan sangat tertata. Anak kedua, pintar dan tidak suka sesuatu yang bersifat mengikat. Meski begitu, kami tetap berpegang pada aturan di dalam keraton. Misalnya agenda makan, salat berjamaah tidak boleh dilewatkan. Saya dan Sultan sangat dekat dengan anak-anak. Ketika salah satu anak mendapat hadiah coklat dari seorang cowok di hari Valentine, anak juga cerita,” tutur Boki.

Berdayakan Perempuan Secara Ekonomi

Di tengah kesibukannya sebagai legislator, Boki menekuni hobi koreografi untuk momen-momen kebudayaan. Bersama sanggar kesultanan, Boki kerap menggelar kegiatan seni budaya.
Sejak kecil Boki senang menari. Beragam tarian, khususnya tari klasik Jawa hingga kini mampu ia lakukan dengan baik. Bakat seni dalam bidang desain busana juga tak kalah besarnya. Boki mendesain sendiri busana-busana yang digunakannya ke kantor.
“Saya suka mengenakan semua daerah karena saya sangat menghargai budaya. Tapi kalau di Jakarta, simpel saja, nggak perlu berkonde. Make up dan sanggulan saya sendiri. Cantik itu nggak harus mahal. Agar terlihat indah tergantung bagaimana memadu padankan,” ujar penggagas Acara Pesta Rakyat Maluku Utara Legu Gam Moloku Kie Raha, dimana sekarang menjadi ikon daerah dan salah satu agenda wisata nasional.
Ke depan Boki bercita-cita menjadikan para wanita Ternate mampu secara ekonomi. Boki menilai, dibanding yang lain, wanita Ternate masih jauh tertinggal. Sumber daya manusianya belum tergali maksimal. Antara hak dan kewajiban belum seimbang. Seringkali hak mereka untuk mendapat perlindungan, kasih sayang dan hak berpolitik, hak berbangsa dan bernegara belum terpenuhi.
“Saya ingin lebih menekankan memberdayakan perempuan dari sektor perekonomian. Karena kalau wanita sudah berdaya di sektor perekonomian, setelah itu dia bisa menjadi apa saja. Dia siap memenej rumah tangga,sekaligus bisa memberikan income buat keluarga. Siap bila terjadi sesuatu dengan suaminya. Dan siap berpolitik jika sudah mempersiapkan dari sisi ekonomi. Memang tidak serta merta, harus dibuka mind setnya lebih dulu,” ujar tokoh peredam konflik politik Pilkada Gubernur Maluku Utara 2007 – 2009 ini.
Boki sudah merintisnya dengan mengajak masyarakat membuat kerajinan, memanfaatkan buah pala untuk dijadikan sirup, selai, dodol dan permen. Daging pala yang selama ini sering dibuang percuma oleh masyarakat menjadi sesuatu yang bernilai jual.
Lagi-lagi, sempat ada yang berpikir skeptis, ‘Permaisuri kok berbisnis?’.
“Saya bilang, tolong dipisahkan. Permaisuri-permaisuri jaman dulu turut memanggul senjata ikut melawan penjajahan. Permaisuri kini menyesuaikan dengan keadaan, yang kita lawan sekarang penjajah dalam bentuk kemiskinan, kebodohan. Melalui jalur apa? Ekonomi, politik, sosial, budaya. Jadi memang nggak gampang ngemong satu-satu orang. Tapi saya tidak akan pernah putus asa,” tutup Boki, serius.


Dalam Tabloid Wanita Indonesia. Edisi 1107. Foto: Muchamad Nur Ridho

1 komentar: